Moneter.co.id – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan United Nation Development
Programme (UNDP) berkomitmen untuk
bekerja sama meningkatkan
kapasitas laboratorium pemeriksaan bahan kimia berbahaya, terutama yang
terdapat di dalam komponen elektronik berbasis plastik dan yang berasal dari
produk impor. Upaya ini guna melindungi kesehatan konsumen dan menghindari
pencemaran lingkungan di Indonesia.
“Salah satunya
kami berupaya menurunkan tingkat penggunaan Polybrominated
diphenyl ethers (PBDE) melalui penerapan Restriction of Hazardous Substances Directive (RoHS),” kata Kepala
Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Ngakan Timur Antara di
Jakarta, Rabu (28/3).
Ngakan
menjelaskan, RoHS merupakan pedoman yang membatasi penggunaan enam bahan
berbahaya di dalam pembuatan berbagai jenis komponen peralatan elektronik.
Keenam substansi tersebut adalah Timbal (Pb), Air raksa (Hg), Kadmium (Cd),
Hexavalent chromium (Cr6+), Polybrominated
biphenyl (PBB), dan PBDE.
“Saat ini concern kami kepada PBDE karena
secara internasional telah dilarang penggunaannya di industri. PBDE yang
digunakan sebagai penghambat nyala api dianggap berbahaya karena berpotensi
sebagai bahan pencemar yang bersifat persisten di lingkungan (Persistant
Organic Pollutants (POPs),” paparnya.
Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Konvensi Stockholm tentang POPs
yang ditandatangani 172 negara pada tahun 2001 dan telah diratifikasi
Pemerintah Indonesia pada tahun 2009 melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2009
tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten.
Dalam pelaksanaannya, kata Ngakan, Balai Besar Bahan dan Barang
Teknik (B4T) Bandung sebagai salah satu Unit Pelayanan Teknis di bawah binaan
BPPI Kemenperin, dipilih oleh UNDP untuk melaksanakan kegiatan penurunan
kandungan PBDE.
Ngakan menjelaskan, tiga program penurunan PBDE tersebut adalah
pelaksanaan pelatihan RoHS, Uji Profisiensi, dan penyusunan dokumen untuk
pendaftaran ruang lingkup pengujian PBDE.
“Kami telah melaksanakan pelatihan RoHS ini yang diikuti oleh laboratorium satker-satker di
bawah BPPI Kemenperin dan laboratorium di bawah BP Batam,” ungkap
Ngakan.
Pelatihan ini bertujuan
untuk meningkatkan kompetensi petugas laboratorium dalam memastikan kandungan
bahan kimia berbahaya sesuai Pedoman RoHS dan ISO/IEC 62321.
Menurut Ngakan, pentingnya upaya yang dilakukan Kemenperin dan UNDP ini,
karena program daur ulang limbah produk elektronik masih belum maksimal.
Apalagi, pencemaran PBDE berpotensi mengganggu kesehatan.
Untuk itu, Kemenperin juga
mendorong industri nasional agar mengoptimalkan
pengelolaan sampah secara tepat. Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah
pendekatan waste to energy. “Selain bisa mengurangi timbulan
limbah, pendekatan tersebut juga membantu mengurangi pemanfaatan bahan
bakar fosil,” jelas Ngakan.
Hal tersebut mendukung komitmen pemerintah Indonesia dalam upaya
penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebagaimana ditargetkan dalam Nationally Determined
Contribution (NDC) Indonesia yang disampaikan pada Paris
Agreement tahun 2016.
(TOP)