Moneter.co.id – Kementerian
Perindustrian (Kemenperin) mendorong percepatan penyelesaian perundingan dalam
kerangka kerja sama Indonesia-Australia Comprehensive Economic
Partnership Agreement (IA-CEPA). Setelah sebanyak 11 putaran perundingan
dilaksanakan sejak Maret 2016, diharapkan tahun ini IA-CEPA bisa difinalisasi.
“Kami
berharap dengan rencana Perdana Menteri Australia datang ke Indonesia pada Juli
nanti, IA-CEPA bisa ditandatangani. Pasalnya, sebagian besar isu terkait sektor
industri yang dibahas sudah selesai dan disepakati kedua belah pihak,” kata
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto seusai bertemu dengan Duta Besar
Australia untuk Indonesia Gary Quinlan AO di Jakarta, Kamis (31/5).
Menperin
menyebutkan, misalnya Australia sudah menyetujui jika Indonesia ingin
menerapkan Tariff Rate Quota (TRQ) untuk produk baja gulungan
canai panas atau dingin (hot/cold rolled steel coil).
“Namun
untuk in-quota harus diberlakukan automatic import
licensing. Selain itu, Australia bersedia mengeliminasi seluruh (100%)
pos tarifnya saat perjanjian mulai berlaku,” tuturnya.
Airlangga
meyakini, adanya kerja sama bilateral yang komprehensif ini akan meningkatkan
nilai ekspor produk Indonesia ke Australia.
“Bagi
Indonesia, ekspor produk manufaktur yang tengah kita pacu adalah tekstil, clothing dan footwear.
Jadi, kita sedang minta bea masuknya bisa diturunkan, karena sekarang dikenakan
sebesar 10-17%. Kalau bisa dihapuskan atau menjadi nol persen,” paparnya.
Kemenperin
mencatat, volume perdagangan RI-Australia sepanjang tahun 2017 mencapai USD8,53 miliar, lebih tinggi dibanding tahun 2016 di angka USD8,45 miliar. Sedangkan, total nilai perdagangan
kedua negara pada periode Januari-Maret berkisar USD2,03 miliar.
Selama ini, komoditas
ekspor unggulan Indonesia ke Negara
Kanguru tersebut, antara lain furnitur, produk kimia dan karet olahan, makanan dan minuman,
tekstil, serta elektronik.
Airlangga
menyampaikan, pihaknya masih berkeinginan untuk dapat meningkatkan ekspor
ke Asutralia berupa kendaraan dalam bentuk utuh (completely built up/CBU) baik
itu yang mesin menggunakan bahan bakar maupun elektrik. “Karena industri
otomotif di sana tutup semua. Ini menjadi peluang bagi kita,” ujarnya.
Terkait mobil
listrik, Australia masih meminta agar produk yang masuk ke negaranya adalah
kendaraan dengan komponen lokal yang berasal dari kawasan Asean mencapai 40%,
sementara Indonesia mengusulkan sekitar 20-30%. “Nah, itu yang masih
dinegosiasikan,” ucap Menperin.
Dirjen
Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional (KPAII) I Gusti Putu
Surywirawan menyatakan, peluang ekspor kendaraan Indonesia ke pasar
Australia cukup besar. Terlebih lagi, sesuai peta jalan Making
Indonesia 4.0, industri otomotif merupakan salah satu dari lima sektor
manufaktur yang diprioritaskan menjadi percontohan pada tahap awal untuk
implementasi industri 4.0 di Tanah Air.
“Di
dalam roadmap tersebut, pemerintah akan memacu industri
otomotif nasional agar mampu menjadi champion untuk ekspor
kendaraan ICE (internal combustion engine/mesin pembakaran
dalam) dan EV (electric vehicle/kendaraan listrik),” jelasnya.
(TOP)