Moneter.co.id – Direktur
Jenderal Perdagangan Luar Negeri Oke Nurwan menegaskan produk fatty alcohols Indonesia siap bersaing
kembali ke pasar Uni Eropa (UE). Peluang ini terbuka setelah European
Commission (EC) memutuskan untuk menghentikan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping
pada bulan November 2016 atas produk fatty
alcohols asal Indonesia.
“Ekspor
fatty alcohols ke negara-negara mitra
dagang, khususnya ke UE diharapkan kembali bergairah dan meningkat setelah
mengalami sengketa hambatan perdagangan ekspor di Uni Eropa. Peningkatan
tersebut tentunya harus dilakukan sejalan dengan peraturan WTO,” kata Oke
disiaran persnya, Kamis (14/12).
Oke
menjelaskan, sebelumnya impor fatty
alcohols Indonesia mengalami sengketa dalam kasus pengenaan Bea Masuk Anti
Dumping (BMAD) di Uni Eropa. Besaran
margin dumping yang dikenakan yaitu sebesar €45,63/MT hingga €80,34/MT dan
berlaku untuk periode lima tahun. BMAD berlaku efektif sejak 8 November 2011
hingga 12 November 2016.
Alhasil,
pada Januari 2012, Indonesia sempat manyampaikan keberatan atas penerapan BMAD
tersebut ke General Court of the European Union. Hasilnya, salah satu eksportir
berhasil dikeluarkan dari penerapan BMAD. Akhirnya, Pada 11 Desember 2012 Uni
Eropa mengeluarkan keputusan mengenai perubahan pengenaan BMAD untuk Indonesia
dengan margin dumping sebesar 0
sampai dengan €45,63/MT. “Pengenaan
BMAD ini sempat membuat ekspor fatty
alcohols Indonesia ke Uni Eropa mengalami kelesuan,” ujar Oke.
Berdasarkan
data BPS, ekspor Indonesia ke Uni Eropa untuk produk fatty alcohols tahun 2011 sebelum pengenaan BMAD mencapai USD 148
juta. Sementara itu, pada tahun 2016 setelah pengenaan BMAD, ekspor fatty alcohols turun menjadi USD 80
juta.
Ini
menunjukkan terjadinya penurunan ekspor fatty
alcohols sebesar 45% setelah pengenaan BMAD, walaupun ekspor tahun 2016
mulai meningkat kembali dari USD 53,12 juta (tahun 2015) menjadi USD 81 juta di
tahun 2016.
Dengan
estimasi peningkatan ekspor sebesar 52% per tahun, maka ekspor fatty alcohols setelah penghentian
pengenaan BMAD diperkirakan mencapai USD 285 juta pada tahun 2019. “Nilai ini
tentunya akan menjadi prestasi tersendiri bagi Indonesia dalam persaingan di
pasar UE,” ujar Oke.
Penghentian
pengenaan BMAD oleh Uni Eropa dan kemenangan bagi Indonesia berdasarkan hasil
putusan Appellate Body (AB) WTO tentunya membawa angin segar bagi kinerja
ekspor fatty alcohols ke UE.
“Produsen atau eksportir di Indonesia diharapkan dapat memanfaatkan peluang
sebaik-baiknya untuk dapat meningkatkan ekspor dan daya saing di pasar Uni
Eropa,” tandas Oke.
Meski
UE telah memutuskan perubahan pengenaan BMAD pada tahun 2012, Indonesia masih
menemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan Anti-Dumping Agreement
(ADA) WTO yang diterapkan kepada eksportir atau produsen Indonesia lainnya.
Pada
20 Juli 2012, Indonesia kemudian memutuskan maju ke Dispute Settlement Body
(DSB) WTO dengan isu yang menjadi poin keberatan atas interpretasi UE. Isu-isu
tersebut yaitu status eksportir Indonesia dalam lingkup Single Economic Entity
(SEE), keberatan atas hasil penyesuaian (adjustment)
yang dilakukan UE, ketidaksesuaian penerapan ADA WTO terkait krisis ekonomi
Eropa, dan kendala bahan baku sebagai faktor lain di luar dumping yang menyebabkan kerugian bagi industri domestik fatty alcohols di UE.
Selain
itu, terkait dengan hasil pemeriksaan pihak Otoritas UE pada saat verifikasi (on the spot investigation) yang tidak
dipublikasikan dan tidak dipergunakan UE untuk menentukan BMAD.
Pada
23 September 2016, Panel DSB WTO mengeluarkan keputusan yang memenangkan posisi
Indonesia atas gugatan terkait dengan hasil verifikasi. Keputusan tersebut
dikuatkan kembali oleh Panel AB WTO. Dalam menentukan keputusan pengenaan BMAD
kepada Indonesia, UE tidak menggunakan hasil verifikasi yang telah dilakukan.
Padahal,
dalam proses investigasi anti-dumping, hasil verifikasi digunakan sebagai dasar
penentuan margin dumping dan ada atau
tidaknya injury.
Hasil
putusan Panel DSB WTO yang dikuatkan oleh Panel AB WTO harus dipatuhi oleh
Otoritas Investigasi, terutama setelah hasil keputusan AB WTO diadopsi pada 29
September 2017. Ini telah menjadi suatu yurisprudensi sebagai acuan untuk kasus
serupa nantinya.
Indonesia
dan negara-negara anggota WTO lainnya dapat berpegang kepada hasil putusan AB
WTO. Ini mengingat gugatan yang diterima dan dimenangkan oleh Panel termasuk
bagian dari proses dasar suatu penyelidikan dalam lingkup Trade Remedies
Practices (dumping, subsidi, dan safeguard).
Hal ini tercatat pada Article 6.7 ADA WTO.
ADA
WTO juga mewajibkan Otoritas Penyelidik mengungkapkan “hasil” dari on the spot verification, baik dalam
bentuk sebuah laporan terpisah, atau sebagai bagian dari pengungkapan
fakta-faka penting dalam sebuah dokumen Essential Facts sesuai dengan Article
6.9 ADA WTO.
“Indonesia
menyambut baik hasil putusan AB WTO yang menguatkan putusan DSB WTO atas klaim
Indonesia. Pemerintah tentunya akan menindaklanjuti melalui pendekatan dengan
Uni Eropa dan memperkuat kembali kerja sama perdagangan, khususnya untuk sektor
sawit dan turunannya seperti fatty
alcohols,” kata Oke.
Menurut
Oke, hasil putusan tersebut dapat mendorong Otoritas Penyelidikan, khususnya
bagi Otoritas investigasi UE, agar lebih menerapkan kedisiplinan terhadap hasil
yang diperoleh dari verifikasi agar senantiasa sejalan dengan ketentuan ADA
WTO, serta bersikap adil dan objektif dalam setiap investigasi yang dilakukan.
Sementara,
Direktur Pengamanan Perdagangan Pradnyawati juga menyampaikan, belajar dari
sengketa Indonesia dengan UE ini, Otoritas Penyelidikan harus berkomitmen
dengan hasil yang diperoleh selama investigasi.
“Indonesia
juga akan melakukan hal yang sama sesuai keputusan Panel untuk bersikap
disiplin selama proses penyelidikan dumpping, subsidi, maupun safeguard dengan tidak mengesampingkan
hasil verifikasi,” pungkasnya. (TOP)