Moneter.co.id – Asisten
Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makro Prudensial Bank Indonesia (BI)
Filianingsih Hendarta mengatakan, Bank Indonesia (BI) telah menerbitkan penyempurnaan Giro Wajib Minimum (GWM) Loan to Funding Ratio (LFR) dan GWM Sekunder yang tertuang dalam PBI No.20/4/PBI/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM).
“Kebijakan tersebut berlaku bagi Bank Umum
Konvensional (BUK), Bank Umum Syariah (BUS), dan Unit Usaha Syariah (UUS),” ucapnya, Kamis (5/04).
Ia menjelaskan, pengaturan
mengenai PLM ditetapkan sebesar 4% dari dana pihak ketiga (DPK). Dalam
peraturan yang disempurnakan tersebut, terdapat fleksibilitas didalam PLM,
yakni dalam kondisi tertentu, surat berharga dalam perhitungan PLM dapat
digunakan dalam transaksi repo kepada BI dalam operasi pasar terbuka paling
banyak sebesar 2% dari DPK.
Kriteria surat
berharga yang boleh di repo-kan kepada BI yakni harus diterbitkan korporasi
bukan bank, tidak boleh beli obligasi di luar indonesia serta harus melalui
penawaran Umum. “Kriteria surat
berharga bisa bentuk obligasi, jika di syariah sukuk dan harus korporasi. Tidak
boleh punya IKMB atau bank,” jelasnya.
Selain itu,
obligasi tersebut harus memiliki peringkat, paling rendah setara dengan investment
grade. “Harus bener yang high quality dan obligasi
memiliki peringkat tidak boleh abal-abal harus ditatausahakan di Lembaga
berwenang,” ucapnya.
Hingga saat
ini, batasan penyaluran pembiayaan tersebut belum terlalu ketat. Lantaran BI
percaya semua perushaan akan mencari instrumen investasi yang paling tingi
imbalhasilnya dan komponen surat berharga pada penyaluran pembiayaan secara
keseluruhan masih terbilang kecil, hanya 1% dari kredit perbankan sebesar Rp
4.600 triliun.
“Jadi ini bukan
merupakan ancaman karena masih kecil sekali. Mungkin kalau nanti dengan
perkembangannya dia tumbuh dan makin banyak SSB nya, dan kreditnya makin kecil
mungkin kita akan menerapkan pembatasan,” pungkasnya.
(HAP/Kntn)




