Moneter.id –
Jakarta – Presiden Prabowo Subianto menargetkan untuk menghentikan operasi
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan mencapai 100 persen energi terbarukan
pada 2040, merupakan sinyal positif untuk mempercepat transisi energi di
Indonesia.
“Target Presiden Prabowo untuk mewujudkan
rencana swasembada energi hijau perlu dilanjutkan dengan kepemimpinan dan
perintah tegas kepada para menteri terkait dan PLN untuk menyusun target, peta
jalan yang rinci, rencana yang terukur, yang didukung dengan kebijakan dan
regulasi yang selaras untuk mencapai target tersebut,” kata Direktur Eksekutif Institute
for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa di Jakarta, Selasa (26/11/2024).
Kata Fabby, pengakhiran operasi PLTU batu
bara adalah langkah krusial untuk mencapai target transisi energi berkeadilan.
Sementara berdasarkan analisis IESR, jelas
Fabby, untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050, Indonesia perlu
mengurangi kapasitas dan pembangkitan listrik dari PLTU batu bara sebesar 11
persen pada 2030, lebih dari 90 persen pada 2040, dan menghentikan operasional
PLTU seluruhnya di 2045.
Langkah ini juga memungkinkan penetrasi
energi terbarukan mencapai 40 persen dalam bauran energi primer di sektor
listrik pada 2030.
“Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan dan
Kementerian BUMN perlu segera menyelesaikan peta jalan pengakhiran operasi PLTU
sebagaimana yang diamanatkan oleh Perpres No. 112/2022 dengan jangka waktu
2040,” jelasnya.
Dengan demikian, Pemerintah dapat
menentukan secara pasti tahapan pengakhirannya, skema pendanaan dan pembiayaan,
pembangunan kapasitas energi terbarukan, penyimpan energi, hingga mempersiapkan
rencana untuk mengatasi dampak sosial dan ekonomi bagi pekerja yang terdampak.
Fabby juga mengingatkan bahwa pengakhiran
PLTU batu bara juga memerlukan investasi yang besar untuk membangun pembangkit
energi terbarukan dan penyimpan energi untuk menggantikan listrik yang
dibangkitkan PLTU, memenuhi pertumbuhan permintaan listrik dan menjaga
kehandalan.
Dibutuhkan investasi sekitar 1,2 triliun dolar
AS hingga 2050 untuk memenuhi kebutuhan energi dengan sumber daya terbarukan,
terutama energi surya, pembangunan penyimpan energi dan jaringan transmisi.
Selain itu, diperlukan biaya untuk mengakhiri
operasi PLTU secara dini, khususnya IPP yang memiliki kontrak dengan PLN hingga
2056. Pemerintah dapat mencoba skema pembiayaan campuran (blended finance)
dan karbon kredit dari proyek yang mendukung transisi energi (transition
carbon credit) untuk membiayai pengakhiran operasi dini PLTU.
Sementara itu, Manajer Program Sistem
Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo mengatakan, penghentian dini semua PLTU
batu bara di jaringan PLN tahun 2040 dapat menghindarkan 182,000 kematian dini
karena polusi udara, serta mengurangi beban biaya kesehatan hingga 130 miliar
dolar AS (sekitar Rp 1.900 triliun).
Terdapat 4,5 GW PLTU yang sudah tua dan tidak
efisien yang dapat dipensiunkan segera sehingga dapat mengurangi emisi hingga
28,8 juta ton CO2 per tahun, sekaligus meningkatkan kualitas udara, air dan
kesehatan masyarakat.
“Meskipun langkah penghentian PLTU ini
memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang signifikan, beban biaya untuk
pensiun dini PLTU, utamanya biaya pensiun aset, penurunan pendapatan
pemerintah, serta biaya transisi pekerja diperkirakan mencapai 4,6 miliar dolar
AS hingga 2030. Biaya meningkat sesuai dengan akselerasi pengakhiran PLTU
hingga mencapai 27,5 miliar dolar AS pada rentang waktu 2040-2050. Oleh karena
itu, dukungan pendanaan internasional menjadi sangat penting untuk memastikan
transisi ini berjalan secara adil dan berkelanjutan,” papar Deon.