Moneter.id – Berdasarkan Making Indonesia 4.0, industri tekstil dan
produk tekstil (TPT) merupakan satu dari lima
sektor manufaktur yang tengah diprioritaskan pengembangannya sebagai pionir
dalam peta jalan penerapan revolusi industri
keempat. Aspirasi besar yang akan diwujudkan adalah menjadikan produsen tekstil dan pakaian jadi nasional masuk jajaran
lima besar dunia pada tahun 2030.
“Khusus untuk industri shoes and sport apparels,
produksi kita sudah melewati China. Bahkan, di Brasil,
kita sudah menguasai pasar di sana hingga 80 persen,” kata Menteri
Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, Selasa
(4/9).
Menperin meyakini, industri TPT dalam negeri mampu
kompetitif di kancah global karena telah memiliki daya saing tinggi. Hal ini
didorong lantaran struktur industrinya sudah terintegrasi dari hulu sampai hilir dan produknya juga dikenal memiliki kualitas yang baik di pasar
internasional.
“Oleh karena itu, pemerintah terus memacu kinerja
industri TPT. Apalagi sektor ini tergolong padat karya dan berorientasi ekspor
sehingga memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian kita,”
ujarnya.
Beberapa langkah strategis telah disiapkan agar industri
TPT nasional bisa memasuki era digital. Misalnya,
selama tiga-lima tahun ke depan, Kementerian Perindustrian fokus mendongkrak kemampuan
di sektor hulu untuk meningkatkan produksi serat sintetis. Upaya yang
dilakukan, antara lain menjalin kerja sama atau menarik investasi perusahaan
penghasil serat berkualitas. “Ini juga bertujuan guna menguragi impor,” tutur
Airlangga.
Kemudian, mendorong pemanfaatan
teknologi digital seperti 3D printing,
automation, dan internet of things. Transformasi ini diyakini dapat mengoptimalkan
efisiensi dan produktivitas. “Jadi, kami akan membangun klaster industri tekstil terintegrasi dengan terkoneksi teknologi industri 4.0,” imbuhnya.
Lebih lanjut, seiring dengan pertumbuhan
ekonomi dan pergeseran permintaan dari pakaian dasar (basic clothing) menjadi pakaian fungsional seperti baju olahraga, industri
TPT nasional pun perlu membangun kemampuan produksi dan meningkatkan skala
ekonomi agar dapat memenuhi permintaan pakaian fungsional di pasar domestik
maupun ekspor.
Sebelumnya, Direktur Industri Tekstil,
Kulit, Alas Kaki, dan Aneka Kemenperin Muhdori mengaku optimistis, industri TPT
nasional dapat tumbuh hingga 4-6 persen pada tahun 2018. Tahun lalu, sektor ini
mampu tumbuh sebesar 3,45 persen, melonjak tajam dibanding tahun 2016 yang
mencapai 1,76 persen.
“Sebesar 30 persen pakaian jadi dari hasil industri
tekstil kita adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri, sedangkan 70
persennya untuk ekspor,” ungkapnya.
Kemenperin mencatat, nilai ekspor industri TPT nasional mencapai USD12,58 miliar
pada
tahun 2017 atau naik 6 persen dibanding tahun sebelumnya. Selain itu, sektor
ini menyumbang ke PDB sebesar Rp150,43 triliun di tahun 2017.
Saat ini, pemerintah tengah berupaya membuat perjanjian
kerja sama ekonomi yang komprehensif dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk
memperluas pasar ekspor TPT lokal. “Salah satu sasaran ekspor industri TPT kita
sekarang, yakni Amerika dan Eropa,” tambah Muhdori.
Pasalnya, produk TPT negara tetangga seperti Vietnam bisa
masuk ke pasar Amerika dan Eropa dengan tarif bea masuk 0 persen, sedangkan bea
masuk ekspor produk tekstil Indonesia masih dikenakan 5-20 persen. “Untuk itu,
perlu adanya bilateral agreement tersebut,”
ujarnya.
Pada tahun 2018, Kemenperin mematok ekspor industri TPT
sebesar USD13,5 miliar dan menyerap tenaga kerja sebanyak 2,95 juta orang.
Tahun 2019, ekspornya diharapkan bisa mencapai USD15 miliar dan menyerap
sebanyak 3,11 juta tenaga kerja. “Sektor ini mampu memberikan share ekspor dunia sebesar 1,6 persen,”
imbuhnya.
Sementara itu, Human
Resources Management General Manager PT Pan Brothers Tbk. Nurdin Setiawan
meyakini, penerapan revolusi industri 4.0 tidak akan mengurangi jumlah tenaga
kerja di perusahaannya. Era digital tersebut akan difokuskan pada
peningkatan produksi dengan pemanfaatan teknologi terkini. “Jadi,
implementasi industri 4.0 tidak berpengaruh terhadap pengurangan tenaga kerja,”
tegasnya.
Hal ini dibuktikan, ketika pabrik melakukan otomatisasi,
sejumlah tenaga kerja dialihkan ke bagian perakitan produk (assembly) sehingga tidak terjadi pemutusan
hubungan kerja (PHK).
Nurdin menyatakan, otomatisasi yang dilakukan perusahaan
dalam proses produksi malah dapat menambah output
hingga dua kali lipat. Ini merupakan bentuk efisiensi mengingat pihaknya tidak
perlu menambah pabrik baru. “Artinya, pekerja tidak kita kurangi, tetapi output bisa naik berkali lipat sehingga dengan
kapasitas sekarang 90 juta pieces per tahun, itu tanpa harus menambah factory
baru,” paparnya.
(TOP)