Moneter.id – Wakil Komisi Tetap Industri Hulu dan Petrokimia Kamar
Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Indonesia, Achmad Widjaja, di Jakarta,
Senin (24/2) menilai bahwa penurunan harga gas industri yang rencananya akan
mulai berlaku efektif per 1 April 2020 mendatang nanti belum akan membawa
dampak signifikan terhadap pertumbuhan industri dalam waktu dekat.
“Tidak bisa semudah itu industri langsung tumbuh (grow up) ketika harga gas industri
diturunkan, karena terkait juga kondisi ekonomi nasion dan global,” kata
dia.
Dia menambahkan, harga gas industri sebelumnya sudah lama
cukup tinggi, dan ini menyebabkan pertumbuhan industri mengalami pelambatan.
“Mungkin industri bisa terlihat pertumbuhannya akhir
tahun nanti, jika benar jadi diturunkan pada April nanti. Tapi jika batal
diturunkan, industri akan terus mengalami pelambatan,” jelas dia.
Menurut mantan ketua umum Asosiasi Aneka Industri Keramik
Indonesia (ASAKI) ini, ketika kondisi ekonomi stabil, industri sebenarnya bisa
tumbuh di level 7% dari semula 5%. “Namun dengan kondisi ekonomi saat ini,
bisa bertahan di angka 5% sudah bagus,” ujar dia.
Dia berkomentar, ada lima industri yang akan terdampak
jika harga gas industri turun, yakni petrokimia, pupuk, keramik, kaca lembaran,
dan baja.
Subsidi
Industri
Terpisah, mantan wakil ketua Komisi VI DPR Inas N Zubir
berpendapat, penurunan harga gas industri merupakan bentuk insentif yang
diberikan pemerintah, sehingga industri dalam negeri dapat tumbuh dan bersaing
di kawasan maupun global untuk mendorong perekonomian nasional.
Komentar dia, upaya menurunkan harga gas industri
sebagaimana amanat Perpres No 40/2016 dilakukan melalui pengurangan atau
penghilangan bagian negara dari hulu sebesar kurang lebih USD 2,2/MMBTU.
“Hal itu sebagaimana disampaikan oleh Presiden
Jokowi dalam pengantar rapat terbatas pada 6 Januari 2020 dengan dua opsi
tambahan yaitu penerapan DMO dan pelaksanaan impor gas,” jelas dia.
Inas bercerita, kalau dilihat mundur kebelakang atau
tepatnya pada 2005, pemerintah pernah mencabut subsidi BBM untuk industri
karena kemampuan APBN yang tidak lagi dapat menopang beban subsidi BBM.
“Tapi jika pengurangan penerimaan negara dari hulu
dilaksanakan dalam rangka memberikan insentif untuk industri, maka hal ini
adalah bentuk lain dari subsidi untuk bahan bakar industri karena pada akhirnya
berdampak kepada target penerimaan APBN dan keuangan negara,” ungkap dia.
Inas mempertanyakan apakah langkah tepat jika negara
memberikan subsidi gas bumi untuk industri? Padahal, imbuh dia, kebijakan yang
mirip seperti itu sudah pernah ada lalu dicabut oleh pemerintah, yaitu subsidi
BBM industri pada 2005.
“Apakah pemerintah sudah putus asa sehingga sudah
tidak dapat menemukan instrumen atau solusi lain yang dapat diberikan kepada
industri agar dapat memberikan nilai tambah dan meningkatkan perekonomian
nasional dibandingkan memilih untuk melakukan skema subsidi gas bumi untuk
industri?” tanya dia.
Inas menyarankan, pemerintah perlu melakukan evaluasi
apakah memang keputusan yang akan diambil ini menuju ke jalan yang benar atau
malah sebaliknya menggerus keuangan negara saja, karena nilai tambah yang
seharusnya diberikan industri tidak tercapai.
Di satu sisi, sesuai data per Januari 2020, harga BBM
industri jenis HSD adalah Rp 13.365 per liter atau setara USD 27,20 per MMBTU
dan jenis MFO adalah sebesar Rp 11.220 per liter atau setara USD 21,19 per
MMBTU. Sementara harga gas bumi industri berkisar di USD 8,87 per MMBTU.
“Melihat profil
tersebut, maka sejatinya harga gas bumi adalah 32% dari harga HSD dan 42% dari
harga MFO dan jauh lebih kompetitif dibandingkan bahan bakar minyak,”
terang Inas.