Moneter.co.id – Kasus penyalahgunaan izin impor garam menunjukkan bahwa kebijakan monopoli impor garam yang selama ini diamanahkan kepada PT Garam (Persero) perlu untuk direvisi dan dicari langkah regulasi lain yang lebih baik.
Peneliti lembaga Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Hizkia Respatiadi mengatakan, kejadian ini kembali membuktikan bahwa tidaklah bijaksana untuk memberikan hak monopoli kepada pihak manapun dalam proses perdagangan komoditas pangan strategis seperti garam.
“Minimnya persaingan usaha yang sehat akibat kebijakan monopoli itu dinilai justru memicu timbulnya praktek korupsi dan penyalahgunaan wewenang,” katanya di Jakarta, Senin (12/6).
Menurutnya, negara dirugikan akibat penghindaran pajak, terlebih lagi masyarakat yang dapat mengalami risiko kesehatan akibat mengonsumsi garam yang tidak diperuntukkan sebagai bahan pangan.
Sebelumnya diberitakan, hak monopoli yang diberikan kepada PT Garam justru disalahgunakan dengan cara mengganti rekomendasi impor garam konsumsi yang diterimanya dari KKP menjadi impor garam industri.
Dengan begitu, perusahaan tersebut terhindar dari kewajiban membayar bea masuk impor sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 06/PMK/010/2017 tahun 2017.
Dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 125.M-DAG/PER/12/2015 tahun 2015 pasal 12, impor garam konsumsi hanya dapat dilakukan oleh BUMN yang bergerak di bidang usaha penggaraman, yang mana hingga saat ini hanya PT Garam yang memenuhi kriteria tersebut.
“Karenanya, perlu dilakukan revisi terhadap kebijakan pemberian hak monopoli bagi pihak manapun dalam proses importasi bahan-bahan pangan strategis,” jelas Hizkia.
Terkait penetapan Direktur Utama PT Garam Achmad Boediono sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana penyimpangan importasi dan distribusi garam industri, pemerintah dinilai perlu segera melakukan audit perizinan pelaksanaan impor garam.
Rep.Hap