MONETER – Jakarta
– Kepala Staf Kepresidenan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko mengatakan revisi
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI tidak mungkin membawa Indonesia
kembali ke era dwifungsi militer atau dwifungsi ABRI seperti saat Orde Baru.
“Enggak, enggak, tak mungkinlah kita kembali kepada
dwifungsi lagi seperti yang lalu, enggak, enggak mungkin. Karena apa, dwifungsi
yang lalu itu ya, maka dilakukan reformasi,” kata Moeldoko dikutip Antara,
Rabu (7/6/2023).
Kata Moeldoko, pemerintah telah melakukan reformasi dalam
tubuh TNI, bahkan hingga menyentuh doktrin yang ditularkan kepada setiap
prajurit dan tatanan struktural pada lingkup organisasi.
Contohnya, kata mantan Panglima TNI ini, jabatan
strukural di lingkup TNI seperti kepala seksi sosial politik, ataupun asisten
sosial politik telah dihilangkan untuk membenamkan karakter dwifungsi militer
pada era Orde Baru. Budaya-budaya yang melekat pada era dwifungsi juga
dihilangkan untuk meningkatkan profesionalitas prajurit.
“Doktrin-doktrin yang berkaitan sosial politik
hilang. Untuk itu, konsekuensinya adalah strukturnya harus diubah, dulu ada
kasie (kepala seksi) sosial politik, asisten sosial politik, hilang
semuanya,” kata dia.
Proses reformasi pada tubuh TNI, kata Moeldoko, tak akan
berhenti dam akan terus berjalan untuk menjadikan prajurit TNI yang
profesional.
“Jadi, budaya-budaya dulu masih suka mikirin partai
politik sudah enggak ada lagi, clear,”
ucapnya.
Menurut Moeldoko, tak perlu ada ketakutan berlebihan
dengan wacana revisi UU 34/2004 tentang TNI.
Dia mengklaim prajurit TNI saat ini betul-betul
profesional. Keinginan untuk menjadi TNI yang profesional itu lahir dari diri
prajurit itu sendiri.
“Kalau dulu mungkin definisi profesional itu bias,
sekarang tidak bias, jelas ada dalam undang-undang. Jadi menurut saya
teman-teman tidak perlu banyak khawatir karena lingkup profesionalitas
terdefinisikan dengan bagus, dengan pas, dengan baik,” kata dia.
Selain itu, kata dia, tidak perlu ada kekhawatiran bahwa
TNI akan menjadi lembaga yang eksesif saat memiliki peran pada organisasi
sipil. Tindakan-tindakan eksesif dari TNI, kata Moeldoko, tidak mungkin terjadi
karena kontrol publik terhadap TNI sangat kuat. “Tindakan eksesif seperti yang lalu tidak mungkin
terjadi karena kontrol publik terhadap institusi itu sangat kuat,” ujar
dia.
Sebelumnya, Badan Pembinaan Hukum TNI sedang menggodok
usulan draf perubahan UU TNI, antara lain soal penambahan pos-pos
kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI.
Dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI diatur 10 pos
jabatan di kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI, sementara
pada usulan yang masih digodok oleh internal Babinkum ada 18
kementerian/lembaga.
Tambahan delapan kementerian/lembaga itu meliputi
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman
dan Investasi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Staf Kepresidenan,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan,
Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung.