Senin, Oktober 6, 2025

Misi Advokasi ‘Indonesia Tea Trade Mission’ ke Eropa Tunjukan Sinyal Positif

Must Read

Moneter.co.id – Dirjen
Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan menyatakan bahwa
upaya misi advokasi ‘Indonesia Tea Trade Mission (ITTM)’ ke Eropa, dalam rangka
pengamanan dan peningkatan akses pasar ekspor teh di Eropa, menunjukkan sinyal positif.

Pada misi
yang berlangsung 3-9 Desember 2017 lalu, ITTM melakukan pertemuan dengan
sejumlah pihak yaitu Tea & Herbal Infusion Europe (THIE) dan Eurofins
Scientific di Hamburg, Jerman; buyer teh Inggris dan Eropa di London, Inggris;
serta Directorate General for Health and Food Safety (DG SANTE) dan Directorate
General for Trade (DG TRADE) Komisi Eropa di Brussel, Belgia.

“Pada
konsultasi teknis dengan THIE, Delegasi ITTM berhasil memperoleh masukan bahwa
kajian yang dilakukan Indonesia terhadap ambang batas residu anthraquinone (AQ)
cukup konkret. Namun, ambang batas AQ bisa diubah jika ada bukti ilmiah yang
menunjukkan bahwa AQ sebagai kontaminan yang tidak terhindarkan,” kata Oke
disiaran persnya, Senin (18/12).

Indonesia
mengupayakan agar ambang batas residu AQ dalam daun teh kering dapat ditetapkan
dengan nilai yang lebih realistis, yaitu sebesar 0,2 mg/kg karena tidak
berbahaya bagi konsumen. Nilai ini diperoleh melalui riset yang dilakukan
dengan mempertimbangkan analisis risiko. Ambang batas residu yang ditetapkan
atas dasar kehati-hatian (precautionary
principle
) dalam Peraturan Komisi Eropa Nomor 1146/2014 yaitu sebesar 0,02
mg/kg dinilai Indonesia terlalu ketat.

Selain itu,
pertemuan dengan laboratorium Eurofins Scientific juga membuka peluang kerja
sama antara laboratorium Direktorat Standardisasi dan Pengendalian Mutu
(Ditstandalitu), Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga,
Kementerian Perdagangan dengan laboratorium tersebut.

“Peluang ini
terbuka karena laboratorium Ditstandalitu telah memiliki kapabilitas yang
terakreditasi untuk menguji AQ pada teh serta menggunakan metode pengujian
sesuai dengan standar laboratorium di Jerman,” jelas Oke.

Atas peluang
ini, proposal kerja sama laboratorium Ditstandalitu dengan laboratorium
Eurofins dan sosialisasi profil laboratorium Ditstandalitu beserta publikasi
hasil uji AQ kepada konsumen lokal dan internasional perlu segera
ditindaklajuti.

“Ini
dimaksudkan agar pengujian AQ dapat dilakukan di Indonesia sehingga dapat
mengurangi beban biaya dan waktu produsen teh Indonesia,” ungkapnya.

Hasil
lainnya, kata Oke, para pemangku kepentingan teh Indonesia menerima masukan penting
dari buyer Uni Eropa dari hasil networking. “Teh Indonesia diperlukan karena
memiliki keunggulan rasa dan jenis teh tertentu seperti black tea dan white tea.
Indonesia harus terus memperhatikan pentingnya keamanan pangan (food safety) dan ketelusuran (traceability) dalam perdagangan teh di
Inggris dan Eropa. Konsistensi dalam kualitas teh, kecepatan distribusi dan
logistik, serta harga yang kompetitif juga harus terus dijaga sekalipun dalam
perdagangan teh melalui lelang,” ungkap Oke.

Sedangkan
melalui pertemuan dengan DG SANTE diketahui bahwa kebijakan ambang batas AQ
berlaku untuk semua negara dan ditetapkan berdasarkan riset ilmiah oleh
European Food Safety Authority. AQ adalah residu pestisida yang bersifat
karsinogenik sehingga tidak bisa dinegosiasikan.

“Namun pihak
UE tetap terbuka menerima hasil kajian ilmiah baru yang dapat merasionalisasi
bahwa ambang batas AQ terlalu ketat. Terhadap hasil kajian ilmiah Indonesia,
pihak UE mengundang Pemerintah Indonesia untuk mengirimkan hasil kajian secara lengkap
agar dapat dikolaborasikan dengan peneliti dan laboratorium di UE,” tandasnya.

Selanjutnya,
Pemerintah Indonesia dan para pemangku kepentingan teh juga perlu
menindaklanjuti berbagai saran dan masukan dari para pemangku kepentingan teh
di Eropa serta memperbaki sistem pemrosesan teh di perkebunan teh nasional
untuk dapat memenuhi persyaratan ambang batas AQ.

Kunjungan
ITTM dilakukan karena kebijakan impor Uni Eropa yaitu Peraturan Komisi Eropa
Nomor 1146/2014 telah menghambat ekspor teh Indonesia ke kawasan tersebut.
Kebijakan yang diterbitkan pada 23 Oktober 2014 dan berlaku mulai 18 Mei 2015
ini mempersyaratkan ambang batas (Maximum Residue Level AQ) pada teh sebesar
0,02 mg/kg.

Kebijakan
tersebut berdampak pada menurunnya nilai ekspor teh Indonesia ke UE.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor pada tahun 2016
tercatat sebesar USD 15,9 juta, atau berkurang 20,13% dibandingkan dengan nilai
ekspor di tahun 2015 yang sejumlah USD 19,9 juta. Tren penurunan juga
terjadipada volum dan nilai ekspor teh Indonesia ke Uni Eropa dengan rata-rata
sebesar 20% dalam lima tahun terakhir. (TOP)

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Latest News

UmrahCash dan VIDA Hadirkan Solusi Aman & Praktis

UmrahCash berkolaborasi dengan VIDA, penyedia identitas digital terkemuka di Indonesia, menghadirkan dompet digital syariah yang aman dan praktis khusus...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img