Moneter.id
–
Kementerian Perdagangan berupaya meningkatkan ekspor nonmigas untuk mendorong
pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Salah satu caranya, dengan
mengoptimalkan perjanjian perdagangan internasional.
Hal itu dikatakan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi
saat menjadi pembicara pada Seminar Nasional Indonesia Economic Outlook (IEO)
2021 secara virtual, Senin (8/2/2021).
Seminar IEO’21 diselenggarakan oleh Kajian Ekonomi dan
Pembangunan Indonesia (Kanopi) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas
Indonesia. Seminar bertema “Post-Pandemic Recovery: A Resurgence of
Indonesia’s Economy” tersebut dihadiri sekitar 2000 peserta secara
virtual.
Turut hadir sebagai pembicara kunci Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia Airlangga Hartarto, Menteri Riset dan
Teknologi Indonesia Bambang Brodjonegoro, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk
Indonesia dan Timor-Leste Satu Kahkonen, Wakil Menteri Keuangan Suahasil
Nazara, Aida S. Budiman, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu,
dan Staf Ahli Bidang Ekonomi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
Indra Darmawan.
“Untuk mencapai target pertumbuhan ekspor nonmigas,
kita harus membuka pasar Indonesia dan berkolaborasi dengan berbagai negara
melalui perjanjian dagang yang sudah ada. Hal itu sekaligus sebagai upaya
meningkatkan nilai tambah masing-masing produk yang diekspor,” ujar Mendag
Lutfi.
Sejumlah perjanjian perdagangan yaitu Regional
Comprehensive Economic Partnership (RCEP), Indonesia-Korea Comprehensive
Economic Partnership Agreement (IKCEPA), Indonesia-Pakistan Preferential Trade
Agreement (IP-PTA), Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership
Agreement (IA-CEPA), Indonesia-Chile Comprehensive Economic Partnership
Agreement (IC-CEPA) dan lainnya dapat dimanfaatkan untuk mendorong ekspor
produk lebih banyak.
Neraca perdagangan Indonesia pada 2020 mencatatkan
surplus sebesar USD 21,7 miliar dan menjadi yang tertinggi sejak 2012. Namun,
hal ini perlu diwaspadai karena surplus neraca perdagangan disebabkan penurunan
impor yang lebih tajam dibandingkan penurunan ekspornya. Ekspor selama 2020
hanya turun 2,6 persen (YoY), sementara impor turun hingga 17,3 persen (YoY).
Mendag Lutfi mengungkapkan, ada tiga negara yang
menjadi sumber surplus neraca perdagangan terbesar Indonesia, yaitu dengan
Amerika Serikat (surplus USD 11,13 miliar), India (USD 6,47 miliar), dan
Filipina (USD 5,26 miliar).
Lima produk ekspor dengan pertumbuhan positif
tertinggi pada 2020/2019 (YoY) adalah besi baja sebesar 46,84 persen, perhiasan
24,21 persen, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) 17,5 persen, furnitur
11,64 persen, dan alas kaki 8,97 persen.
Menurut Mendag Lutfi, pada 2020, komoditas besi baja
menempati urutan ke-3 pada ekspor nonmigas Indonesia dengan kontribusi sebesar
7 persen atau senilai USD 10,85 miliar.
“Indonesia merupakan negara penghasil komoditas besi
dan baja terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. Bahkan, lebih dari 70 persen
besi baja Indonesia diekspor ke Tiongkok,” katanya.
Komoditas perhiasan juga menjadi andalan ekspor
Indonesia. Produk perhiasan pada 2020 menempati urutan ke-5 pada ekspor
nonmigas Indonesia dengan kontribusi sebesar 5,3 persen dengan nilai USD 8,2
miliar. Hampir 80 persen produk perhiasan diekspor ke Singapura, Swiss, dan
Jepang.
Selain itu, untuk memastikan ekspor terus berjalan,
pemerintah akan terus mengawal dan memastikan pengamanan perdagangan
produk-produk Indonesia di luar negeri dengan diplomasi perdagangan.
“Selama pandemi Covid-19, tercatat ada 37 kasus
pengamanan perdagangan dari 14 negara, terdiri dari 24 kasus antidumping dan 13
kasus safeguard. Pemerintah juga berkomitmen menjalani proses baku penyelesaian
sengketa di WTO terkait bahan mentah Indonesia dan hambatan perdagangan produk
biodiesel berbahan baku minyak sawit oleh Uni Eropa,” kata Mendag.