Moneter.co.id – Indonesia dinilai sudah menjadi basis produksi
manufaktur terbesar di ASEAN. Hal ini seiring dengan upaya pemerintah saat ini
yang ingin mentransformasi ekonomi agar fokus terhadap pengembangan industri
pengolahan nonmigas.
“Jadi, kita telah menggeser dari commodity based ke manufactured
based,” tegas Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto saat ditemui di
Jakarta, Minggu (11/2).
Manufaktur menjadi kunci penting guna memacu
perekonomian nasional karena lebih produktif dan memberikan efek berantai yang
luas.
“Industri mampu meningkatkan nilai tambah bahan baku
dalam negeri, menyerap banyak tenaga kerja, menghasilkan devisa dari ekspor,
serta penyumbang terbesar dari pajak dan cukai,” ujar Airlangga.
Apabila dilihat dari sisi pertumbuhan manufacturing value added (MVA),
Indonesia menempati posisi tertinggi di antara negara-negara di ASEAN. MVA
Indonesia mampu mencapai 4,84%, sedangkan di ASEAN berkisar 4,5%. Di tingkat global, Indonesia saat ini
berada di peringkat ke-9 dunia.
“Ekonomi Indonesia berbeda dengan negara ASEAN yang lain,
disebabkan sekarang Indonesia sudah masuk dalam one trillion dollar club,” jelas Airlangga.
Untuk itu, pemerintah menitikberatkan pada pendekatan
rantai pasok industri nasional agar lebih berdaya saing di tingkat domestik,
regional, dan global.
“Ekonomi
bergeser ke pasifik. Di Jepang manufakturnya sekitar 0,2% karena
basis produksinya di luar Jepang,” kata Menperin.
Langkah
pemerintah Indonesia yang sedang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dengan
menggenjot sektor industri manufaktur juga dilakukan beberapa negara di kawasan
Asia Tenggara, seperti Filipina dan Vietnam.
“Bahkan, beberapa negara ASEAN sudah membuat roadmap Industry 4.0. Kita juga catching up di era ekonomi digital ini,”
imbuhnya.
Menurut Menteri Airlangga, kekuatan ekonomi Indonesia 80%
berbasis pasar dalam negeri dan sisanya ekspor. Hal ini tidak sama dengan
Singapura atau Vietnam yang hampir keseluruhannya berorientasi ekspor.
“Perbedaannya,
kita punya domestic market yang besar. Ini
aset penting kita, selain orientasi ekspor juga perlu
menjaga potensi domestik,” tuturnya. Terlebih lagi, peluang ekspor industri
manufaktur nasional masih terbuka lebar khususnya ke pasar ASEAN.
Sebanyak 50 pabrik Indonesia telah beroperasi di Vietnam
dan Thailand. Potensi ekspor nasional bisa lebih ditingkatkan terutama melalui
pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Airlangga pun mencontohkan, industri kemasan, makanan hingga
semen yang keberadaannya harus dekat dengan konsumen, tidak efisien lagi untuk
ekspor menggunakan transportasi karena tidak sebanding biayanya.
“Maka dia
harus ekspansi dalam bentuk corporate action. Di situ Kemenperin terus
dorong. Beberapa perusahaan telah membuka pasar baru seperti di Nigeria. Kita
sudah ada pabrik makanan di sana, dan rencana baru akan ekspansi lagi
perusahaan berbasis pupuk,” ungkapnya.
Menperin menambahkan, pemerintah tengah berupaya
memperbaiki sejumlah regulasi untuk semakin menggenjot ekspor Indonesia.
Misalnya, Kemenperin telah mengusulkan kepada Kementerian Keuangan mengenai
revisi perpajakan agar sedan tidak dimasukkan lagi ke dalam kategori kendaraan
mewah.
“Kami ingin revisi struktur perpajakan industri
otomotif, termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Kami berharap
untuk sedan tidak lagi jadi barang mewah,” ucapnya.
Usulan Kemenperin tersebut ditargetkan bisa dirampungkan
Kemenkeu pada bulan depan. “Mungkin kuartal I ini bisa diselesaikan. Draftnya
sudah dikirim dari tahun kemarin,” lanjut Airlangga.
Menurutnya, jika tarif PPnBM sedan bisa diturunkan dan
setara dengan produk mobil jenis lain, harga jualnya akan lebih terjangkau
untuk pasar Indonesia.
Selain itu, produsen otomotif nasional akan semakin
banyak memproduksi jenis sedan untuk kebutuhan pasar ekspor. “Salah satu
sasarannya adalah Australia, karena pabrik mobilnya di sana sudah banyak tutup.
Nah, ini kesempatan yang bagus bagi Indonesia untuk masuk di pasar Australia,”
paparnya.