Moneter.id –
Jakarta – Direktur Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) Malang, Jawa Timur, Prof. Dr. Candra
Fajri Ananda menyatakan bahwa hasil penelitian lembaga yang dipimpinnya
menunjukkan bahwa peningkatan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai tidak
efektif menurunkan jumlah konsumsi rokok.
“Kenaikan tarif cukai yang terlalu tinggi
justru berisiko mendorong peredaran rokok ilegal. Ketika tarif cukai dinaikkan,
maka mendorong konsumen untuk beralih ke produk ilegal yang lebih
terjangkau," ujarnya, Senin (30/9/2024).
Katanya, hasil kajian juga menunjukkan,
kebijakan kenaikan tarif cukai dalam beberapa tahun terakhir telah mencapai
titik optimum, lanjutnya, di mana kenaikan tarif lebih lanjut tidak efektif
dalam menurunkan konsumsi rokok.
"Konsumen cenderung beralih ke rokok
ilegal atau produk dengan harga lebih murah. Hal ini tidak hanya mengurangi
volume produksi rokok legal tetapi juga berpotensi menurunkan penerimaan negara
dari cukai hasil tembakau (CHT)," katanya.
Menurut dia, peredaran rokok ilegal di
Indonesia telah meningkat seiring dengan kenaikan harga rokok akibat tarif
cukai yang terus naik.
Meskipun pemerintah telah meningkatkan
operasi penindakan terhadap rokok ilegal, tambahnya, data menunjukkan bahwa
ketika harga rokok meningkat, jumlah rokok ilegal yang beredar di pasaran turut
mengalami peningkatan.
Pada tahun 2023, hasil penelitian PPKE FEB
UB mengungkapkan, lebih dari 40 persen konsumen rokok pernah membeli rokok
polos tanpa pita cukai.
Selain itu, simulasi yang dilakukan oleh
PPKE menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai dari 0 persen hingga 50 persen
dapat meningkatkan peredaran rokok ilegal dari 6,8 persen menjadi 11,6 persen.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa potensi
CHT yang hilang akibat peredaran rokok ilegal seiring dengan kenaikan tarif
cukai, dari Rp4,03 triliun ketika tidak ada kenaikan tarif cukai (0%), hingga
mencapai Rp5,76 triliun ketika cukai dinaikkan sebesar 50 persen.
Terkait hal itu PPKE FEB UB menyampaikan
tiga rekomendasi bagi pemerintah yakni pertama, moratorium kenaikan tarif cukai
untuk menjaga keberlangsungan IHT dan mencegah lonjakan peredaran rokok ilegal,
sambil tetap menjaga stabilitas penerimaan negara dan sektor tenaga kerja yang
bergantung pada industri ini.
Kedua,
apabila tarif cukai ditujukan untuk mencapai keseimbangan pilar kebijakan IHT,
maka tarif cukai sebesar 4 – 5% (dari tarif yang berlaku saat ini) adalah tarif
cukai yang direkomendasikan untuk dapat diterapkan dalam mencapai keseimbangan
antara penerimaan negara dan keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT).
Ketiga,
mendorong pemerintah terus meningkatkan upaya penegakan hukum terhadap
peredaran rokok ilegal dan menyesuaikan harga rokok sesuai daya beli
masyarakat. "Langkah-langkah ini perlu dilakukan agar kebijakan tarif
cukai dapat memberikan solusi yang seimbang bagi konsumen, produsen, dan
penerimaan negara," katanya.
Menanggapi hal itu Sekjen Perkumpulan
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Petrus Riwu mengatakan,
kenaikan tarif cukai rokok di atas 10 persen setiap tahun dapat menyebabkan
masyarakat beralih ke rokok dengan harga lebih murah atau bahkan rokok ilegal.
"GAPPRI merekomendasikan moratorium
kenaikan tarif cukai dan harga jual eceran (HJE) selama 2025-2027 serta tidak
menaikkan PPN untuk menjaga keberlangsungan proses pemulihan industri dan daya
beli masyarakat. Serta, lebih menggencarkan operasi penindakan rokok ilegal
untuk menekan peredarannya," ujarnya.