Moneter.id –
Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi sementara
penerimaan pajak sepanjang lalu mencapai Rp1.932,4 triliun. Realisasi ini meningkat
3,5 persen secara tahunan (yoy) dari realisasi tahun 2023 sebesar Rp1.867,9
triliun.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani
Indrawati dalam Konferensi Pers APBN 2024 di Jakarta, Senin (6/1/2025)
mengatakan, bahwa jika dibandingkan penerimaan pajak 2023, penerimaan pajak
2024 masih tumbuh 3,5 persen meski ada (koreksi) harga komoditas dan tekanan
bertubi-tubi.
“Terjadi turn around (berbalik arah)
pada kinerja penerimaan pajak ketika memasuki kuartal III-2024. Pada paruh
pertama 2024, penerimaan pajak mengalami perlambatan, dengan tren koreksi 8,8
persen pada kuartal I dan 7,2 persen pada kuartal II,” jelas Wakil Menteri
Keuangan Anggito Abimanyu.
Anggito menambahkan, kinerja penerimaan
pajak pada kuartal III mencatatkan pertumbuhan sebesar 10,4 persen, yang
kemudian tumbuh lebih tinggi lagi pada kuartal IV sebesar 20,3 persen. “Perubahan
itu utamanya didorong oleh kinerja jenis pajak yang bersifat transaksional,
seperti pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri (DN), pajak penghasilan
(PPh) 22 impor, dan PPN impor,” jelasnya.
“Itu tumbuh double digit, karena
beberapa aktivitas seperti pembayaran upah, gaji, dan tunjangan hari raya (THR)
serta aktivitas ekonomi retail yang juga membaik,” ujar Anggito.
Secara rinci, katanya, serapan dari
PPN/pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) tercatat sebesar Rp828,5 triliun,
tumbuh 8,6 persen secara tahunan.
Pertumbuhan PPN didorong oleh PPN DN yang
tumbuh double digit (32,8 persen pada kuartal IV) karena konsumsi dalam
negeri tumbuh kuat, seperti industri makanan dan tembakau.
Kemudian, PPh non migas tumbuh 0,5 persen
yoy, dengan realisasi Rp997,6 triliun. Pertumbuhan positif ini ditopang oleh
PPh 21 dan orang pribadi (OP) karena terjaganya gaji dan upah, tambahan
lapangan kerja baru, dan peningkatan aktivitas di sektor perdagangan.
Berdasarkan data Kemenkeu, PPh 21 tumbuh
21,1 persen sebesar Rp243,8 triliun. Sedangkan PPh final didorong oleh kinerja
dari sektor keuangan dan jasa konstruksi.
Adapun PPh badan mengalami kontraksi
sebesar 18,1 persen menjadi Rp335,8 triliun, akibat penurunan profitabilitas
perusahaan pada tahun 2023 yang disebabkan oleh moderasi harga komoditas,
terutama pada sektor pertambangan. Sementara PPh migas terkontraksi sebesar 5,3
persen yoy dengan realisasi Rp65,1 triliun.