Moneter –
Rencana Bank Indonesia (BI) mengkaji dua opsi penyebaran rupiah digital dalam
persiapan penerapan mata uang digital bank sentral alias Central Bank Digital
Currency (CBDC) di Tanah Air diapresiasi oleh Anggota Komisi XI DPR RI, Heri
Gunawan.
“Langkah membuat Rupiah digital diharapkan dapat
membendung gempuran uang kripto yang saat ini makin masif dipegang oleh
masyarakat,” kata Heri Gunawan, Senin (13/12).
Seperti diketahui, BI berencana mengembangkan CBDC
(Central Bank Digital Currencies) atau Rupiah digital. Ada dua pendekatan yang
sedang didalami BI yaitu secara langsung atau one tier dan tidak langsung atau two tier.
Pendekatan secara langsung artinya masyarakat baik itu
rumah tangga maupun korporasi bisa mendapatkan token rupiah digital secara
langsung dari BI.
Sementara pendekatan secara tidak langsung dilakukan
melalui dua tahapan, yakni bank sentral mengedarkan rupiah digital melalui
perbankan, barulah masyarakat bisa membelinya ke perbankan.
Bank sentral masih merumuskan dan mempertimbangkan
secara seksama manfaat dan risiko CBDC. CBDC adalah uang digital yang
diterbitkan dan peredarannya dikontrol oleh bank sentral.
Ia menegaskan sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2011
tentang Mata Uang, alat pembayaran yang sah di Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) adalah Rupiah, sehingga kripto bukan sebagai alat pembayaran
yang sah di Indonesia.
Masyarakat, lanjutnya, perlu diingatkan risiko
menyimpan uang kripto sebagai komoditas investasi yang tidak memiliki
fundamental serta memiliki potensi fluktuasi yang besar.
“Meskipun ilegal dan memiliki risiko tinggi,
namun banyak masyarakat yang menyimpan uang kripto. Tugas kita semua untuk
mengedukasi masyarakat agar tidak menjadi korban uang kripto,” ujarnya.
Untuk diketahui, pada laporan Kajian Stabilitas
Keuangan yang dirilis BI, jumlah investor kripto pada Juni 2021 diperkirakan
telah mencapai kurang lebih 6,5 juta. Jumlah ini bahkan dua kali lebih banyak
dibandingkan investor pasar saham yang mencapai sekitar 2,4 juta investor.




