Selasa, September 30, 2025

Rugikan Petani Lokal, APPKSI Minta Presiden Jokowi Hapus Pungutan Ekspor CPO, DMO dan DPO

Must Read

MONETER

Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI) meminta kepada Presiden Joko
Widodo (Jokowi) agar pungutan ekspor Crude Palm Oil (CPO) yang mencapai 55
persen dari harga Ekspor CPO harus dihapus karena justru membebani petani sawit
dan dari pungutan ekspor tidak perlu lagi mensubsidi industri biodiesel karena
harga CPO sudah lebih mahal dari Crude Oil (minyak fosil)

 

Ketua Dewan Pembina APPKSI, Arief Poyuono
mengatakan, tata kelola CPO dan turunannya telah meyebabkan nasib kami para
petani plasma sawit yang jumlahnya puluhan juta serta stakeholder industry sawit makin tidak jelas.

 

Domestic
market obligation
(DMO) dan domestic
price obligation
(DPO) harus dicabut karena mempersulit ekspor CPO yang
mana akhirnya menyebabkan over stock
di tangki tangki penimbunan CPO di pabrik pabrik kelapa sawit,” katanya
disiaran pers yang diterima, Kamis (7/7/2022).

 

Arief menjelaskan, semua ini memberatkan kehidupan
petani sawit karena pungutan ekspor CPO yang mencapai 55% dan aturan DMO dan DPO,
setelah ekspor CPO di ijinkan kembali membuat harga tandan buah segar jatuh
hingga 200% dari harga saat sebelum ada pelarangan ekspor CPO

 

“Seperti kita ketahui bahwa Indonesia mendominasi
produksi lemak dan minyak nabati dunia. Minyak kelapa sawit negara ini
menyumbang sekitar 60% dari produksi minyak global, dan komoditas ekspor utama
ini menghasilkan pendapatan negara sebesar USD20 miliar pada tahun 2020,” kata
Arief dalam keterangan tertulis, Kamis (7/7/2022)

 

Arief menjelaskan, kenaikan harga CPO saat ini
disebabkan banyaknya hambatan yang dihadapi industri antara lain pandemi
Covid-19, kekurangan tenaga kerja, musim hujan, banjir.

 

”Tidak tersedianya pasokan pupuk, kekurangan minyak
nabati di pasar dunia. Hal ini mengakibatkan kekurangan besar-besaran dalam
jumlah TBS dan CPO. Sementara itu, curah hujan yang tinggi menyebabkan
kegagalan penyerbukan, OER menurun dan FFA meningkat. Ini semua merupakan
tantangan bagi pekebun kecil dan produsen korporat,” bebernya.

 

Sebelumnya, Presiden Jokowi memberlakukan larangan
ekspor minyak sawit mentah dan produk olahannya. Hal ini mengejutkan komunitas
global dan dengan cepat menimbulkan reaksi negatif di seluruh dunia.

 

“Malaysia, yang memasok 25% dari produksi global,
tidak mampu mengisi celah yang tersisa dari larangan ekspor Indonesia; karena
negara itu masih menghadapi kekurangan tenaga kerja yang parah akibat
pembatasan pandemi. Sementara, Rusia dan Ukraina menyumbang 80% dari pasar
minyak bunga matahari global, yang sudah merupakan penurunan mendadak dalam
pasokan minyak nabati global karena perang yang sedang berlangsung,” ungkapnya.

 

Menurut Arief, larangan ekspor Indonesia adalah
untuk mengurangi kenaikan harga pangan lokal dan untuk memadamkan kerusuhan
lokal. Namun, strategi jangka pendek bisa membawa lebih banyak kerugian
daripada kebaikan dalam skala yang lebih besar.

 

“Jangka panjangnya, produsen Indonesia tidak akan
mampu lagi menjalankan bisnis perkebunan secara berkelanjutan,” ujarnya.

 

Jelasnya lagi, hal ini memungkinkan produsen
Malaysia mengambil alih kuota yang sebelumnya diisi oleh produsen Indonesia,
sehingga bisa menggeser Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia.

 

“Dengan melarang komoditas ekspor berpenghasilan
tinggi, posisi perdagangan Indonesia akan memburuk dengan cepat. Negara ini
tidak lagi dapat memperoleh keuntungan dari arus masuk Forex besar-besaran yang
telah dinikmati selama reli harga CPO sejauh ini,” bebernya.

 

“Analisis Organisasi Pangan dan Pertanian
Perserikatan Bangsa-Bangsa menemukan bahwa harga pangan global telah naik 12,6%
dari Februari 2022 hingga Maret 2022, dan posisinya bahkan lebih tinggi 33,6%
jika dibandingkan dari Maret 2021 hingga Maret 2022,” tegasnya.

 

Arief bilang, Indonesia seharusnya meniru Malaysia
dalam perlakuannya terhadap harga minyak goreng di negara yang terakhir. Itu
bisa terus menjaring arus masuk Forex, dan pada gilirannya sebagian menggunakan
posisi neraca berjalan yang kuat untuk mensubsidi harga minyak goreng lokal.
Itu akan memberi negara itu posisi keuangan yang kuat dan menenangkan
masyarakat umum dengan makanan dan minyak yang terjangkau.

 

“Negara juga dapat memperkuat pengawasan untuk
melawan pihak-pihak yang dapat memanfaatkan distribusi minyak goreng lokal
dengan menyelundupkannya ke tempat lain,” katanya.

 

Menurutnya, KPK, Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung
harus mengintensifkan penyelidikan jika ada pihak yang berkolusi untuk menipu
pemerintah dengan menyedot CPO untuk penjualan tidak sah, yang selanjutnya
dapat menyebabkan kekurangan minyak goreng lokal di Indonesia.

 

Arief mengatakan, pengenaan bea keluar dan pungutan
ekspor CPO sebesar USD488 per ton juga membuat produsen tidak dapat beroperasi
secara berkelanjutan, terutama di tengah koreksi harga di pasar komoditas
belakangan ini. Para produsen sudah terbebani oleh pajak perusahaan sebesar
24%; dan ketika pejabat pemerintah semakin membebani produsen, hal ini akan
mengurangi daya saing industri kelapa sawit Indonesia dalam jangka panjang.

 

“APPKSI mendesak presiden Jokowi untuk tidak
terjebak dengan kebijakan populis ingin harga minyak goreng murah tapi
menghancurkan sektor industri sawit yang sudah banyak memberikan dampak bagi
perekonomian nasional dan peningkatan pendapatan masyarakat di luar pulau
Jawa,” tuturnya.

 

Selain itu, lanjut Arief, APPKSI mendesak Presiden
Jokowi untuk mencabut pemberlakuan kembali DMO dan DPO yang diatur oleh
Kementerian Perdagangan (Kemendag). Menyusul dibukanya kembali ekspor minyak
goreng dan CPO. Karena kebijakan ini membuat kesulitan ekspor CPO dimana
kebijakan ini membuat tangki tangki CPO penuh menumpuk tidak bisa cepat
berkurang untuk di ekspor,” ujarnya.

 

Dia menambahkan, APPKSI juga mendesak presiden
Jokowi untuk menurunkan pungutan ekspor CPO yang sangat tinggi yang menyebabkan
juga harga TBS petani makin hancur karena beban pungutan ekspor ternyata
dibebankan pada harga beli TBS.

 

“Jika DMO dan DPO tidak dicabut serta pungutan ekspor
CPO sangat tinggi maka industri sawit di Indonesia tinggal tunggu kehancuran,
hanya karena mengejar target ketersedian dan harga minyak goreng curah pada harga
14 ribu, namun berakibat fatal bagi pendapatan dari industri sawit nasional,” pungkasnya.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Latest News

Pertamina Catat Transaksi Senilai Rp 2 Miliar di Pameran SMEXPO Yogyakarta 2025

PT Pertamina (Persero) mencatat transaksi senilai Rp2 miliar dari penjualan ritel maupun antarbisnis (business-to-business/B2B) pada ajang pameran SMEXPO Yogyakarta...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img