Moneter.co.id – Direktur Jenderal
Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo
menegaskan Pemerintah Indonesia dan para pelaku usaha tengah menyusun langkah
bersama menanggapi wacana Pemerintah AS untuk mencabut fasilitas preferensi bea
masuk (Generalized System of Preferences/GSP).
Pencabutan fasilitas GSP
ini ditujukan pada tiga produk Indonesia yaitu ban mobil, turunan sarang walet,
serta asam stearat (stearic acid).
Ketiga produk tersebut dipandang melewati ketentuan Competitive Need Limitation
(CNL). Wacana ini diumumkan Pemerintah AS pada 24 November 2017.
“Saat ini Kemendag
bersama kementerian dan lembaga terkait serta para pelaku industri ban mobil,
produk turunan sarang walet, dan asam stearat tengah menyusun submisi, atau
masukan ke Pemerintah AS agar ketiga produk tersebut dapat tetap menerima GSP
ke pasar AS,” kata Iman, Rabu (29/11).
Sekedar informasi, GSP
merupakan program unilateral Pemerintah AS yang memberikan bea masuk 0% kepada
sekitar 141 negara berkembang dan kurang berkembang di dunia untuk lebih dari
3.500 produk dengan ketentuan penerapan ambang batas. Jika ekspor produk-produk
tersebut melewati nilai tertentu, maka fasilitas GSP dapat dicabut karena
dianggap cukup berdaya saing masuk ke pasar AS tanpa program GSP.
“Koordinasi
penyusunan submisi diperlukan untuk mendapatkan data pendukung yang akurat
serta menyusun argumentasi pentingnya ketiga produk tersebut, bukan saja bagi
Indonesia tetapi juga bagi industri dan konsumen AS,” ucap Iman.
Pada tahun 2016, ekspor
ban mobil Indonesia ke AS tercatat sebesar USD 156,8 juta; produk turunan
sarang walet USD 9,3 juta; dan asam stereat USD 10,6 juta. Ekspor ketiga produk
tersebut meningkat dalam lima tahun terakhir, masing-masing sebesar 70,75%;
7,1%; dan 19,3%.
Menurut Iman, jika
ketiga produk tersebut terbukti berdaya saing, maka hal itu positif bagi
Indonesia. Artinya, produk tersebut siap berkompetisi di pasar AS tanpa
preferensi. Namun, jika belum kompetitif dan dicabut preferensinya, maka
menjadi tugas Pemerintah Indonesia untuk menyampaikan argumen ke Pemerintah AS
agar pencabutan GSP ditangguhkan.
“Menjadi tugas
Pemerintah untuk melindungi para pelaku usaha. Apalagi biasanya sebagian besar
produk di bawah skema GSP berasal dari UKM negara-negara berkembang atau produk
tersebut tidak lagi diproduksi di AS,” tegas Iman.
Pemerintah AS mengkaji
fasilitasi GSP setiap tahun kepada seluruh negara penerima skema GSP melalui
United States Trade Representative (USTR). Saat ini Indonesia merupakan negara
pemanfaat program GSP terbesar ke-4 setelah India, Thailand, dan Brasil.
Sebesar 11% dari nilai total ekspor Indonesia ke AS bersumber dari produk yang
mengunakan skema fasilitas GSP dengan total nilai sekitar USD 1,8 miliar.
Pemerintah AS sempat
mengumumkan melalui situs USTR bahwa pemerintahnya tengah mengkaji dan
bermaksud mengakhiri pemberian program GSP kepada negara berkembang per 1
Januari 2018. Namun, belum ada kepastian resmi dari rencana tersebut.
Untuk itu, negara-negara
penerima program GSP membentuk sebuah aliansi bersama yang disebut GSP Alliance
untuk melakukan pendekatan ke Pemerintah AS. GSP Alliance memberikan
argumentasi bahwa program GSP masih diperlukan, bukan saja oleh negara penerima
namun juga industri antara di AS yang memerlukan berbagai produk dengan harga
yang terjangkau. Apalagi kebanyakan produk tersebut tidak dihasilkan di AS,
atau jika diproduksi harganya tidak berdaya saing.
Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS), total perdagangan bilateral Indonesia-AS dalam lima
tahun terakhir menunjukkan tren negatif sebesar 2,78%. Pada 2016, total
perdagangan kedua negara mencapai USD 23,44 miliar dan surplus bagi Indonesia
sebesar USD 8,84 miliar.
Total nilai ekspor
Indonesia ke AS mencapai USD 16,14 miliar, sedangkan nilai impor Indonesia dari
AS tercatat USD 7,3 miliar. Pada periode Januari-Agustus 2017, AS merupakan
tujuan ekspor nonmigas ke-2 dengan nilai USD 11,37 miliar dan sumber impor
nonmigas ke-5 Indonesia dengan nilai USD 5,05 miliar.
Produk ekspor utama
Indonesia ke AS antara lain udang, minyak petroleum, karet alam, alas kaki, dan
pakaian. Sementara impor utama Indonesia dari AS yaitu kacang
kedelai, katun, olahan untuk makanan hewan, ampas tebu berbentuk pelet,
dan pesawat terbang. (TOP)