Moneter.co.id – Sebagai
komoditas strategis nasional, kelapa sawit dinilai layak dilindungi negara
melalui sebuah regulasi dalam bentuk undang-undang (UU). Langkah Badan
Legislasi (Baleg) DPR yang memasukkan RUU Perkelapasawitan ke dalam program
legislasi nasional (Prolegnas) 2018 mendapat sejumlah dukungan.
Anggota
Komisi IV DPR Hamdhani mengatakan, selain sebagai komoditas strategis nasional
yang perlu dilindungi, keberadaan UU ini juga akan melindungi kepentingan
petani sawit.
“Harus ada payung hukum khusus, hak-hak petani mestinya
dilindungi, karena di perkebunan sawit ini tidak hanya dilakukan oleh pengusaha
besar, tapi juga ada para petani baik plasma maupun petani mandiri,” kata
Hamdhani di Jakarta, Jumat (22/12).
Hamdhani menjelaskan, sawit saat ini telah menjadi industri
besar yang menyerap sekitar 30 juta tenaga kerja, baik langsung maupun tidak
langsung. Bahkan sejak 2016, komoditas ini memberikan kontribusi terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar Rp260 triliun.
Jumlah itu
menempatkan sawit sebagai komoditas dengan kontribusi terbesar, melampaui
pariwisata, dan migas. “Jika tidak dibuatkan UU khusus, lambat laun
industri sawit bisa tergerus oleh komoditas sejenis yang dihasilkan oleh negara
asing,” ujarnya.
“Eropa dan
Amerika toh juga mati-matian melindungi komoditas rapeseed, bunga matahari,
canola dan kedelai mereka. Mereka kan selama ini yang melakukan kampanye
negatif terhadap sawit kita,” kata Hamdhani.
UU khusus ini rencananya juga mengamanatkan badan khusus yang
mengatur soal sawit dari hulu hingga hilir. Adanya badan khusus ini, kata dia,
akan memudahkan pemerintah dalam mengatur industri yang telah terbukti menjadi
penopang perekonomian nasional ini.
Saat ini, industri sawit diurusi oleh banyak
kementerian/lembaga negara. Ironisnya, kebijakan di antara kementerian/lembaga
tersebut kerap bertolak belakang dan tumpang tindih.
Pada RUU tersebut, lanjut dia, pihaknya akan memperjuangkan
adanya dana bagi hasil bagi daerah penghasil sawit. Saat ini menurutnya ada 18
provinsi yang menghasilkan sawit, namun tidak ada dana bagi hasil yang
diberikan ke daerah.
“Harusnya
ada dana bagi hasil sebagaimana yang terjadi di sektor migas. Apalagi industri
sawit ini sudah melampaui sektor migas. Dana bagi hasil ini untuk pembangunan
daerah,” katanya.
Hamdhani juga tidak setuju jika RUU ini dinilai overlapping
dengan UU Perkebunan, karena UU tersebut mengatur 127 komoditas. Sementara, UU
Perkelapasawitan akan mengatur khusus tentang kelapa sawit. “Untuk
menyelesaikan perkelapasawitan perlu sebuah UU yang sifatnya lex specialis,”
tandasnya.
Sementara, Wakil Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit
Indonesia (Apkasindo) Rino Afrino ikut mendukung agar RUU ini segera
diundangkan. Menurutnya, keberadaan UU Perkelapasawitan akan menegaskan posisi
sawit sebagai komoditas strategis nasional.
“Karena menyangkut penerimaan negara yang besar dan
kesejahteraan masyarakat. Jadi memang industri ini harus dilindungi aturan
khusus,” tandasnya.
Pihaknya optimistis, jika RUU ini diundangkan, maka
permasalahan di tingkat petani akan bisa diselesaikan. Rino memaparkan selama
ini petani sawit masih saja berkutat pada persoalan tata ruang, sertifikasi, produktivitas
tanaman yang rendah, lahan gambut, tata niaga tandan buah segar (TBS), serta
kemitraan dengan perusahaan.
(SAM)