Moneter.id – Industri
manufaktur berperan besar dalam mendongkrak peningkatan nilai ekspor Indonesia,
salah satunya ke negara tujuan seperti Australia. Pada kuartal I/2018, ekspor
RI ke Australia untuk sektor pengolahan ini tercatat naik hingga 18,7%,
sehingga menjadi USD399,3 juta dari USD336,3 juta di periode yang sama tahun
2017.
“Pemerintah
tengah memacu nilai ekspor, terutama di industri manufaktur. Sebab, sektor ini
mampu memberikan kontribusi signifikan sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi
nasional serta menekan defisit perdagangan,” kata Menteri Perindustrian
Airlangga Hartarto di Jakarta, Selasa (17/7).
Meningkatnya
ekspor industri manufaktur itu membawa kinerja ekspor RI ke Australia pada
kuartal I/2018 juga ikut terkerek menjadi
USD667,8 juta atau terjadi kelonjakan sebesar 13,1%, jika
dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Peningkatan
ekspor sektor manufaktur ke Negeri
Kanguru ini didorong oleh tumbuhnya beberapa komoditas yaitu elektronik,
plastik dan produk plastik, produk logam, mesin-mesin, produk kayu, dan produk
karet.
Sementara
itu, peran besar industri dalam struktur ekspor RI terlihat pada tahun 2017
yang mampu menyumbang hingga 74,10% dengan nilai mencapai USD125,02 miliar atau
naik 13,14% dibanding 2016 sekitar USD109,76 miliar.
“Negara
tujuan ekspor utama kita antara lain adalah Amerika Serikat, China, Jepang,
India, dan Singapura,” ungkap Menperin.
Secara
keseluruhan, pada kuartal I/2018, industri manufaktur mencatatkan nilai ekspor
sebesar USD32 miliar atau naik 4,5% dibanding capaian pada periode yang sama
tahun lalu di angka USD30,6 miliar.
Adapun
tiga sektor manufaktur dengan nilai ekspor terbesar pada kuartal I/2018, yaitu industri makanan yang mencapai USD7,42 miliar, industri logam dasar USD3,68
miliar, serta industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia USD3,25 miliar.
Menurut
Airlangga, pihaknya turut mengakselerasi penyelesaian perundingan perdagangan
bebas dalam kerangka Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership
Agreement (IA-CEPA). “Kerja sama bilateral yang komprehensif tentu akan
mendongkrak ekspor produk RI ke Australia,” ujarnya.
Saat ini,
Kementerian Perindustrian sedang menggenjot ekspor RI ke Australia melalui
produk industri manufaktur berupa tekstil, pakaian, dan alas kaki. “Jadi, kami
minta bea masuk produk tersebut bisa diturunkan, karena sekarang dikenakan
tarif sebesar 10-17%. Kalau bisa dihapuskan atau menjadi 0 persen,” paparnya.
Airlangga
menyampaikan, pihaknya juga masih berkeinginan untuk meningkatkan ekspor RI ke Asutralia berupa
kendaraan dalam bentuk utuh (completely
built up/CBU) baik itu mesin yang menggunakan bahan bakar maupun
elektrik. “Karena industri otomotif di sana tutup semua. Ini menjadi peluang
bagi kita,” ujarnya.
Terkait mobil
listrik tersebut, Australia masih meminta agar produk yang masuk ke negaranya
adalah kendaraan dengan komponen lokal yang berasal dari kawasan Asean mencapai
40%, sementara Indonesia mengusulkan sekitar 20-30%. “Nah, itu yang masih
dinegosiasikan,” ucap Menperin.
Dirjen Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri
Internasional (KPAII) Kemenperin, I Gusti Putu Suryawirawan menyatakan,
peluang ekspor kendaraan Indonesia ke pasar Australia cukup besar.
“Terlebih lagi, sesuai peta jalan Making Indonesia 4.0,
industri otomotif merupakan salah satu dari lima sektor manufaktur yang
diprioritaskan menjadi percontohan pada tahap awal untuk implementasi industri
4.0 di Tanah Air,” tungkasnya.
“Di dalam roadmap tersebut, pemerintah akan memacu
industri otomotif nasional agar mampu menjadi champion untuk ekspor kendaraan
ICE (internal combustion engine/mesin
pembakaran dalam) dan EV (electric
vehicle/kendaraan listrik),” jelasnya.
(TOP)