Moneter.co.id - Menarik menyimak pernyataan Presiden Joko Widodo dalam acara pertemuan tahunan industri jasa keuangan 2018 beberapa hari lalu.
Pada kesempatan tersebut, Presiden menyampaikan harapannya
agar perbankan lebih proaktif dalam menyalurkan kredit, terutama kredit usaha
mikro kecil dan menengah (UMKM). Meskipun di atas kertas kinerja perbankan
terlihat baik, Presiden kembali menekankan agar penyalurannya juga harus semakin
inklusif.
Dengan distribusi yang merata hingga ke masyarakat
kelas bawah, kredit perbankan diharapkan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi
sembari mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.
Sepanjang 2017 kredit perbankan, khususnya kredit UMKM, masih menunjukkan pertumbuhan
positif meskipun dengan beberapa catatan khusus.
Mengutip data Statistik Perbankan Indonesia yang
dirilis OJK, kredit UMKM per November 2017 tercatat sebesar Rp871 triliun
atau tumbuh 8,34% (yoy). Dari sisi tingkat penetrasi, rasio pemberian kredit
UMKM terhadap total kredit perbankan baru menyentuh level 12,15%.
Rasio tersebut masih lebih rendah daripada target yang
ditetapkan Bank Indonesia (BI). Dalam Peraturan BI Nomor 17/12/ PBI/2015,
rasio pemberian kredit UMKM diwajibkan minimal 15% pada tahun 2017 dan naik
menjadi minimal 20% pada 2018.
Keinginan Presiden agar perbankan menggenjot kredit UMKM tentu dapat dimaklumi.
Namun di sisi lain, perlu disadari pula bahwa esensi dari bisnis perbankan
adalah jasa kepercayaan. Imbasnya, perbankan wajib menyalurkan kreditnya
dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian. Isunya ialah kredit UMKM menunjukkan
adanya penurunan kualitas kredit dalam beberapa tahun terakhir.
Rasio NPL kredit UMKM sebesar 4,33% atau lebih tinggi
bila dibandingkan dengan akhir tahun 2015 dan 2016 yang mencapai 4,03% dan
3,96%. Meskipun belum melewati batas aman sebesar 5%, sangatlah wajar jika
perbankan akhirnya lebih memilih berfokus menyalurkan kredit yang
berisiko lebih rendah demi mengamankan kinerja keuangannya.
Pemerintah tentu tidak tinggal diam menyaksikan permasalahan kredit UMKM.
Menyadari bahwa pelaku usaha UMKM masih terbebani suku bunga bank yang
tinggi, pemerintah berinisiatif menurunkan suku bunga Kredit Usaha Rakyat
(KUR). Pemerintah tercatat telah tiga kali menurunkan suku bunga KUR, yaitu
12% pada Juli 2015, 9% pada Januari 2016, dan 7% pada Januari 2018.
Isu Non - Suku Bunga
Namun permasalahan suku bunga bukanlah satu-satunya faktor yang memengaruhi permintaan
dan penawaran kredit UMKM. Secara teori, ada lima variabel yang memengaruhi
penyaluran kredit bank atau yang dikenal dengan istilah 5C, yaitu capacity, capital, collateral, character dan condition of economics. Dari
aspek teknis, setidaknya terdapat tiga isu fundamental selain suku bunga
yang harus diselesaikan.
Pertama, penilaian kelayakan
bisnis usaha. Isu yang selalu mencuat ke permukaan ialah banyak pengusaha UMKM
yang feasible, but unbankable. Artinya bisnis UMKM tersebut
sebenarnya menguntungkan sehingga layak mendapatkan kredit bank (feasible), tetapi tidak ada dokumen tertulis
sebagai pendukung (unbankable).
Sebagai konsekuensi dari penerapan prinsip kehati-hatian, perbankan
wajib meyakini bahwa usaha calon debitornya tersebut tidak bermasalah dari
sisi likuiditas, solvabilitas, dan profitabilitas.
Pada titik ini, ada dua metode yang biasa dilakukan perbankan. Perbankan
dapat meminta laporan keuangan/pembukuan usaha atau menganalisis
mutasi transaksi dari rekening tabungan calon debitornya.
Namun, sayangnya banyak pelaku UMKM informal yang tidak
mampu memenuhi kedua persyaratan tersebut. Seluruh transaksi jual beli
dilakukan secara tunai, tidak pernah didokumentasikan secara memadai dan
hasil usahanya tidak disetorkan secara rutin ke rekening bank.
Menjawab tantangan tersebut, sangatlah tepat kebijakan pemerintah yang terus
menggeliatkan Gerakan Nasional Nontunai dalam berbagai kebijakannya.
Dengan sistem nontunai, masyarakat yang sebelumnya tidak memiliki rekening
tabungan bank mau tidak mau dipaksa untuk mulai membuka diri terhadap layanan
perbankan.
Dari sisi permintaan, pelaku UMKM mulai teredukasi
mengenai arti penting pembukuan usaha, sementara dari sisi penawaran,
perbankan juga memiliki basis data untuk menawarkan produk yang sesuai dengan
profil pelaku UMKM.
Kedua, eksistensi Perusahaan
Penjaminan Kredit Daerah (PPKD). Hasil survei BI menunjukkan salah satu
kendala pendanaan UMKM ialah masalah informasi asimetris antara pemberi
dana dan penerima dana. Tidak mengherankan jika akhirnya perbankan mempersyaratkan
adanya agunan/jaminan sebagai upaya mitigasi risiko. Namun di sisi lain
UMKM umumnya memiliki keterbatasan agunan, baik jumlah agunan yang belum
mencukupi maupun legalitas agunan yang tidak memenuhi. Untuk itu diperlukan
solusi yang dapat menjadi substitusi agunan.
Salah satu langkah yang dapat ditempuh ialah penjaminan dari perusahaan penjaminan
kredit. Di tingkat nasional, sudah ada beberapa perusahaan penjaminan
kredit, di antaranya Perum Jamkrindo, PT Askrindo, dan PT Penjaminan
Kredit Pengusaha Indonesia (PKPI).
Namun mengingat jumlah UMKM yang terus bertumbuh
dan tersebar hingga pelosok daerah, pendirian PPKD tiap pemerintah daerah
menjadi opsi kebijakan yang patut dipertimbangkan. Dengan hadirnya PPKD,
kredit UMKM di bawah Rp20 juta tidak lagi harus menyertakan agunan. Hingga tahun
2017 PPKD sudah terbentuk di 18 provinsi, sedangkan sisanya sebanyak 16
provinsi masih dalam proses.
Ketiga, keikutsertaan organisasi
kemasyarakatan dalam program pemberdayaan UMKM. Pengembangan UMKM seyogianya
turut melibatkan partisipasi elemen-elemen di luar pemerintah dan
perbankan. Salah satu kisah sukses yang dapat menjadi inspirasi ialah sinergi
antara lembaga keagamaan dan perbankan dalam pemberdayaan UMKM di Kota
Manado. Keuskupan Manado, Gereja Masehi Injil di Minahasa (GMIM), dan
sejumlah masjid di Manado tercatat telah menjalin kerja sama dengan Bank Pembangunan
Daerah dan Bank Syariah.
Lembaga keagamaan tersebut akan berperan sebagai pendamping, melakukan pelatihan
dan membantu seleksi umat yang berhak mendapatkan kredit KUR dari perbankan.
Selain itu, lembaga keagamaan juga akan menjadi penjamin kredit KUR yang diperoleh
umat. Artinya lembaga keagamaan ikut menanggung potensi gagal bayar. Dengan
adanya sinergi tersebut, risiko informasi asimetris yang dihadapi perbankan
pun ikut berkurang.
Selain ketiga isu fundamental di atas, pemerintah juga dapat menebarkan berbagai
program stimulus dari sisi makro (condition
of economics). Penyederhanaan pengurusan legalitas UMKM, insentif bagi
perbankan yang menyalurkan kredit UMKM, dan kemudahan pendirian perusahaan
penjaminan kredit oleh swasta menjadi sebagian contoh program stimulus
yang dapat diberikan. Ketika seluruh kebijakan difokuskan pada variabel 5C,
niscaya harapan Presiden Jokowi dapat terwujud.
Remon Samora
Analis Bank Indonesia
*) Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili lembaga
tempat bekerja.
(Sumber: Sindonews.com)