Moneter.co.id – Di tengah banyaknya
keluhan masyarakat terkait pelayanan BPJS Kesehatan, saat ini pelaksana program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tersebut juga mengalami kedodoran terkait masalah keuangan.
Koordinator Advokasi BPJS
Watch, Timboel Siregar mengatakan, terjadinya defisit di BPJS Kesehatan.
Terdapat selisih yang cukup besar antara input dan output pembiayaannya.
“Pihaknya mencatat, per 30 Juli 2017, dana yang masuk ke BPJS Kesehatan mencapai
Rp 35 triliun, sementara dana yang dikeluarkan untuk pembiayaan mencapai Rp 41
triliun,” ujarnya, Rabu (04/10)
Timboel menjelaskan,
masalah ini berasal dari tingkat kepesertaan yang masih rendah. “Direksi
BPJS Kesehatan diamanatkan untuk membangun sistem penerimaan iuran yang efektif
dan efisien, sekarang masalahnya kan banyak peserta yang tidak bayar
iuran,” katanya.
Selain
itu, ada banyak pemerintah daerah yang belum mendaftarkan peserta Jaminan
Kesehatan Daerah (Jamkesda) sebagai peserta BPJS Kesehatan.
Dari sisi
pembiayaan, BPJS Watch menemukan bahwa kebanyakan pembiayaan berasal dari
layanan rawat jalan dan rawat inap tingkat lanjutan.
“Artinya,
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) gagal menyembuhkan peserta BPJS
sehingga perlu dirujuk, makanya pembiayaannya membengkak,” ungkap Timboel.
Timboel menyebutkan adanya pola kecurangan yang dilakukan pihak rumah sakit.
Misalnya, ada pasien rawat inap yang belum sembuh disuruh pulang lantas disuruh
masuk kembali.
BPJS
Watch mendorong kinerja direksi perlu ditingkatkan agar input pembiayaan BPJS
Kesehatan bisa dimaksimalkan. Selain itu perlu political will dari pemerintah
untuk menyelamatkan BPJS Kesehatan dari defisit.
“Masalahnya
dalam pembahasan RAPBN2018, nilai pembayaran bagi Peserta Bantuan Iuran (PBI)
tidak naik, padahal inflasi kesehatan kan tinggi, harusnya anggaran untuk PBI
ditingkatkan,” ujar Timboel.
Semetara itu, Ketua
Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), Marius Widjajarta,
menekankan agar pasien bisa diselamatkan maka pelayanan kesehatan harus
memiliki norma, standar pelayanan, panduan, dan berpijak pada aturan global.
“Sekarang masalahnya selalu tarif, tapi mana standar pelyanan kesehatan
nasional yang dibuat Kemenkes?” katanya.
Marius menambahkan,
Kementerian Kesehatan bisa mengundang perwakilan dokter, perawat, rumah sakit,
dan asuransi untuk merumuskan unit cost yang menjadi pedoman bagi tarif dan
iuran BPJS.
(SAM)