Moneter.co.id – Anggota IV BPK Rizal Djalil menyatakan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan dua temuan terkait lingkungan yang
dilakukan PT Freeport Indonesia. Setidaknya dalam pelanggaran tersebut potensi
kerugian negara mencapai sekira Rp455 triliun.
“Temuan ini merupakan hasil pemeriksaan
BPK atas Kontrak Karya Freeport tahun 2013-2015 pada Kementerian ESDM,
Kementerian LHK dan instansi terkait lainnya di Jakarta, Jayapura, Timika dan
Gresik,” kata Rizal di Gedung BPK, Senin (19/3).
Rizal menjelaskan, pelanggaran pertama
yang dilakukan Freeport yakni, penggunaan kawasan hutan lindung seluas
minimal 4.535 hektare (ha) dalam kegiatan operasional yang tanpa izin pinjam
pakai. Hal ini tercatat bertentangan dengan Undang-Undang Kehutanan No.41
Tahun 1999 Jo UU no.19 Tahun 2004.
Dalam temuan ini terdapat potensi
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang hilang sejak tahun 2008, di mana PP
No.2/2008 yang mengatur tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berasal
dari penggunaan kawasan hutan, terbit.
Berdasarkan hitungan BPK dengan
Direktorat Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, apabila IPPKH
(Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan) Freeport dapat segera terbit potensi PNPB
negara sebanyak Rp33,853 triliun per tahunnya.
Angka ini terdiri dari areal pinjam
pakai yang seluas 738,60 ha dengan potensi Rp2,954 triliun, kemudian areal
persetujuan Prinsip PKH 2013 seluas 2.000 ha dengan potensi Rp20,339 triliun.
Selain itu terdiri juga dari tambahan
area di dataran rendah seluas 1,158 ha yang berpotensi Rp4,632 triliun, juga
penambahan luasan dalam evaluasi seluas 639,13 ha yang berpotensi Rp5,868
triliun.
Dengan demikian, selama 8 tahun atau
sejak PP diterbitkan pada 2008 hingga tahun 2015, total potensi PNBP yang tidak
diterima mencapai Rp270,831 triliun.
Pelanggaran kedua, lanjut Rizal, Freeport telah
menimbulkan perubahan ekosistem akibat pembuangan limbah operasional
penambangan (tailing) di sungai, hutan, muara dan telah mencapai kawasan laut.
Kerugian dari perubahan ekosistem yang
rusak akibat pembuangan limbah yang berlebihan oleh Freeport ini setidaknya
tercatat mencapai Rp185 triliun. Ini terdiri dari penampungan tailing atau Modelling
Ajkwa Deposition Area (ModADA) sebesar Rp10,70 triliun, muara sekira Rp 8,211
triliun, dan laut sekira Rp166 triliun.
“Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan
tertentu (PDTT) atas Kontrak Karya Freeport itu pun telah disampaikan pada
kementerian terkait, DPR, terkhususnya pada pihak Freeport,” ucapnya.
Namun, lanjut Rizal, hingga saat ini
tidak ada tindak lanjut dari Freeport untuk menangani pelanggaran ini. “Sampai hari ini setelah
333 hari BPK sampaikan hasil audit, tidak ada tindak lanjut signifikan dari
Freeport. Freeport tidak punya itkad baik terhadap persoalan untuk di
Papua ini,” tegasnya.
(HAP)