Moneter.co.id – Badan
usaha milik desa (BUMDes) terbukti mampu mendongrak pendapatan petani pedesaan
sebagaimana yang dialami petani jambu batu atau klutuk merah di Kabupaten
Kendal, Jawa Tengah (Jateng).
Plt Direktur Jenderal Penyiapan Kawasan dan Pembangunan
Permukiman Transmigrasi (PKP2Trans) Kementerian Desa Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Hari Pramudiono mengatakan BUMDes membantu
petani untuk memperluas jaringan pasar di tingkatan nasional, sementara pasar
lokal sudah jenuh dan terbatas pemasarannya.
“Dengan program BUMDes para petani banyak diuntungkan
karena tidak lagi menjadi korban spekulan para tengkulak,” kata Hari
Pramudiono dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (6/3).
Selama ini, petani kerap kali harus menanggung harga rendah
saat panen tiba atau terancam produknya membusuk karena tak bisa diserap pasar
lokal. Misalnya, dalam kasus petani jambu di Kendal, Kemendes PDTT
pun akhirnya turun tangan bersama dengan Pemerintahan Kabupaten Kendal untuk
mencarikan solusi.
Langkah yang dilakukan adalah membentuk BUMDes Bersama, yakni
gabungan BUMDes dari desa-desa penghasil jambu di Kabupaten Kendal. “Jadi, desa-desa penghasil jambu di Kendal ini dibantu
membentuk BUMDes. Karena jumlahnya banyak dan kemudian dikumpulkan menjadi satu
badan usaha, maka disebut BUMDes Bersama (BUMDesma),” kata Hari.
BUMDesma para petani jambu di Kendal ini diberi namaBUMDesma
Plasma Petik Sari yang beranggotakan tujuh desa dari dua kecamatan.
Dari Kecamatan Sukorejo meliputi Desa Bringinsari, Desa
Pesaren, Desa Trimulyo, dan Desa Kalipakis. Sedangkan dari Kecamatan Patean
meliputi Desa Pakisan, Desa Plososari, dan Desa Mlatiharjo.
Hari menjelaskan, luas lahan jambu getas merah di tujuh desa
tersebut hanya setengah dari potensi jambu getas merah di empat kecamatan
penghasil jambu getas merah di Kabupaten Kendal. “Meskipun BUMDes Bersama ini milik tujuh desa, namun
demikian ruang lingkup kegiatannya dapat melayani desa-desa yang lain di luar
desa bahkan kecamatan yang lain,” ujarnya.
Bersamaan dengan pembentukan BUMDes, pemerintah juga membantu
mencarikan mitra swasta sebagai pembeli produk jambu yang dihasilkan petani.
Untuk pihak swasta yang digandeng BUMDes Bersama di Kendal yakni,
PT Fruit ING Indonesia. “Kerja
sama dengan swasta ini diperlukan untuk mendapat jaminan pasar dan harga yang
menguntungkan kedua belah pihak, yaitu pihak swasta maupun pihak petani,”
ujar Hari.
Dengan kondisi seperti ini, petani jambu di Kendal tidak
perlu lagi takut hasil produksinya tidak laku dijual, atau dibeli dengan harga
murah.
Bahkan kini, Kendal akan membangun Kawasan Pedesaan
Agropolitan. “Setelah program ini berjalan nantinya tidak akan ada lagi
petani jambu yang tidak bisa menjual produksinya,” kata Hari.
Pengelolaan pemasaran jambu getas merah di Kendal ini
melibatkan 350 orang petani, 50 pengepul, BUMDesma Plasma Petik Sari (PPS) dan
PT Fruit ING.
Mekanismenya, kata Hari, para petani akan menjual produksinya
kepada pengepul yang ditunjuk dengan harga Rp2.000/Kg. Harga ini empat kali
lipat dari harga semula, yakni Rp500/Kg.
Sedangkan para pengepul wajib menjual hasil kulakannya dari
petani jambu tersebut ke BUMDesma PPS dengan harga Rp2.400/Kg untuk grade B dan
C.
Sedangkan untuk produk jambu grade A, pihak pengepul diberi
keleluasaan untuk memasarkannya pasar lokal dan regional. “Pada tahap akhirnya, BUMDesma menjual jambu tersebut ke
PT Fruit ING dengan harga Rp 3.000/kg. Jadi, dengan skema ini semua
diuntungkan, baik petani, pengepul maupun pengusahanya,” kata Hari.
Rencananya, PT Fruit ING akan menyerap jambu
produksi petani hingga 20.000 ton/tahun.
Hari berkeyakinan, bila semua desa yang ada di Indonesia
melakukan langkah pemberdayaan potensi ekonomi seperti yang terjadi di Kendal,
maka problem kemiskinan di desa akan teratasi.
(HAP)