Moneter.id – PT Reasuransi Maipark Indonesia mencatat nilai kerugian
sementara akibat gempa tektonik dengan skala 6,9Mw (USGS) di Lombok pada Minggu, 5 Agustus 2018 mencapai Rp33,13 miliar.
Berdasarkan
laporan statistik tentang kejadian bencana gempa lombok, Maipark mencatat klaim
yang dilaporkan yang terakumulasi pada 13 Agustus 2018 mencapai Rp33,13 miliar.
Direktur
Utama PT Reasuransi Maipark Indonesia Ahmad Fauzie Darwis mengatakan, hingga
selasa (14/8) pihaknya telah menerima 156 klaim dari 21 ceding company (Perusahaan Asuransi Umum pemberi sesi).
“Nilai
kerugian di Nusa Tenggara Barat (NTB) mendominasi total kerugian yakni 87% atau
sebesar Rp28,83 miliar. Adapun, 13% dari nilai kerugian lainnya berasal dari
Bali sebesar Rp4,31 miliar,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Ia
menjelaskan, daerah yang mencatatkan nilai kerugian terbesar yakni Kabupaten
Lombok Barat sebesar Rp28,41 miliar, diikuti Kabupaten Karang Asem sebesar
Rp3,44 miliar, serta Kabupaten Badung sebesar Rp560,06 juta.
Bangunan
komersial mendominasi angka kerugian secara nasional akibat bencana tersebut
yakni 98,31% atau sebesar Rp32,57 miliar. Adapun, 1,69% kerugian lainnya
berasal dari bangunan perumahan atau sebesar Rp560 juta.
Lebih
lanjut, kata Ahmad, untuk perhitungan angka kerugian secara nasional
berdasarkan estimasi data dari para ceding yang
dilakukan oleh Tim Enterprises Risk Management (ERM) Maipark per 13 Agustus
2018 pukul 14:40, sekitar Rp33,13 miliar. Angka tersebut akan terus diperbaharui.
Ahmad
mengatakan, tim Research Development and Innovation Maipark juga akan melakukan
survei ke lokasi gempa untuk menghitung dan mencatat seberapa besar kerusakan
yang terjadi, sumber gempa dan kecocokan permodelan dan melakukan klasifikasi
tingkat intensitas sesuai Modified Mercalli Intensity Scale (MMI), yang
merupakan satuan untuk mengukur kekuatan gempa bumi. “Angka tersebut akan
terus diperbaharui” katanya.
Sebagai informasi, Maipark merupakan perusahaan
reasuransi risiko khusus yang dimiliki oleh perusahaan asuransi umum dan
perusahaan reasuransi yang ada di Indonesia.
Perusahaan yang mulai beroperasi pada Januari 2004 itu
saat ini khusus menangani risiko gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, serta
kebakaran yang diakibatkan oleh ketiga risiko tersebut.
(HAP)