MONETER
– Indonesia membutuhkan dana sekitar
Rp6.500 triliun untuk membangun infrastruktur sampai tahun 2024. Demikian disampaikan Direktur
Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR
Kemenkeu) Luky Alfirman dalam Seminar Infrastructure Roundtable (IIR) ke-23
Edisi T20 yang dipantau secara daring di Jakarta, Jumat (8/7/2022).
Luky bilang, bahwa dari
kebutuhan dana tersebut, APBN hanya bisa memenuhi 42 persen, sedangkan sisanya
akan berasal dari BUMN dan sektor swasta. “Maka dari itu
pembiayaan adalah salah satu cara menekan biaya tersebut. Bagaimana kami bisa
mendesain pembiayaan sedemikian rupa,” ujar Luky.
Luky
menjelaskan pemerintah saat ini terus mengundang pembiayaan dari sektor swasta.
Hal tersebut seiring dengan pembahasan dalam Presidensi G20 di Indonesia yakni
meningkatkan partisipasi sektor swasta, lantaran pemerintah tidak bisa
menanggung seluruh biaya pembangunan sendirian.
“Berinvestasi
di infrastruktur merupakan investasi jangka panjang, sehingga harus ada
kepastian di dalam proyek yang diinvestasikan,” ujarnya.
Luky berpendapat pihaknya terus berusaha
memberi kepastian dengan mengelola risiko yang ada agar investor, terutama di
dalam negeri, berminat untuk menanamkan modal mereka pada suatu proyek
infrastruktur. “Kami
mendesain sedemikian rupa risiko ini, bagaimana bisa kami perkecil karena itu
terasosiasi dengan harga yang harus kami bayar nantinya,” ucap dia.
Sementara untuk investor luar negeri, ia
menuturkan biasanya calon penanam modal akan cenderung melihat kondisi politik
hingga prospek ekonomi Indonesia sebelum memutuskan berinvestasi dalam suatu
proyek infrastruktur di Tanah Air.
“Stabilitas
kondisi politik dan perbaikan ekonomi domestik sangat penting guna menarik
investasi dari luar negeri,” tungkasnya.