Moneter.id - Pencemaran udara dan air merupakan isu yang sangat hangat dan sering menjadi kontroversial ketika diperdebatkan. Ini dikarenakan menyangkut masalah penting yang menyangkut kelangsungan hidup hayati di bumi ini.
Berbagai isu
lingkungan seperti pemanasan global (global
warming) karena terjadinya efek rumah kaca yang disebabkan 6 jenis gas yaitu, carbon dioksida (CO2), nitrogen
oksida, metana, sulfurheksaflorida, perflorokarbon, dan hidroflorokarbon.
Dampak pemakaian
cloro
floro carbon (CFC) yang mengakibakan kerusakan lapisan
ozon yang melindungi bumi dari radiasi matahari, dan CFC ini juga menjadi salah satu pemegang andil dalan pelelehan
es di kutub, peningkatan radiasi matahari kebumi dan turut memberikan gas efek
rumah kaca, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan
iklim, punahnya flora dan fauna, migrasi fauna dan hama penyakit.
Demikian juga
dengan terjadinya “hujan asam” yang disebabkan oleh belerang (sulfur) serta
nitrogen di udara yang bereaksi dengan oksigen membentuk sulfur dioksida dan
nitrogen oksida.
Air hujan
yang asam tersebut akan meningkatkan kadar keasaman tanah dan air permukaan
yang terbukti berbahaya bagi kehidupan ikan dan tanaman, terjadinya proses
korosi menjadi lebih cepat, iritasi pada kulit, sistem pernafasan dan
sebagainya.
Kegiatan
transportasi (emisi gas buang), sisa pembakaran pembangkit listrik yang mempergunakan
batu bara dan fosil, pemakaian pupuk dan pestisida di sektor pertanian, kegiatan
industri, pembakaran hutan, letusan gunung berapi dan kegiatan rumah tangga
turut mengakibatkan peningkatan kadar emisi CO2 dan peningkatan kadar gas rumah kaca didunia.
Dari 10 negara
penghasil emisi karbon terbesar di dunia, Tiongkok merupakan negara penyumbang
emisi CO2 terbesar di dunia dengan sumbangan emisi CO2 mencapai 28,21 % dari
total emisi dunia.
Tumbuhnya
perekonomian yang diikuti meningkatnya jumlah pabrik dan kendaraan bermotor
membuat polusi udara di Tiongkok sangat tinggi. Negara penyumbang polusi CO2
terbesar kedua dunia adalah Amerika Serikat (AS), yakni sebesar 15,99 %, di urutan ketiga yakni India
dengan sumbangan polusi CO2 sebesar 6,24 %.
Kemudian
dilanjutkan dengan Rusia: 4,53 %, Jepang 3,67 %, Jerman 2,23 %, Korea Selatan
1,75 %, Iran 1,72 %, Kanada 1,71 % dan Arab Saudi 1,51 % (Statistia, 2017), dan
dari data ini, Indonesia belum diketahui berapa sumbangannya terhadap polusi
CO2 dunia.
Pencemaran
lingkungan merupakan bidang yang sangat serius untuk ditangani dan dikendalikan
oleh Pemerintah Indonesia guna mengurangi dampak negatif dari perubahan
lingkungan yang tidak menguntungkan karena tindakan manusia, perubahan pola
penggunaan energi dan materi, penggunaan bahan-bahan fisika dan kimia, dan
perlakuan organisme.
Demikian juga
pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh industrialisasi yang dapat
mencemari udara, air dan tanah. Di Indonesia, sektor transportasi merupakan kontributor
terbesar dalam polusi udara di Indonesia, terutama di daerah perkotaan akibat
tingginya urbanisasi dan meningkatkannya penggunaan kenderaan bermotor.
Dan
berdasarkan pengamatan beberapa organisasi dan permerhati Lingkungan Hidup,
pembalakan hutan dan pembakaran hutan sangat signifikan memberikan dampak
kepada emisi karbon dan pencemaran udara (kabut dan asap) di Indonesia.
Khusus untuk
sektor Industri, Pemerintah telah menetapkan kebijakan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yaitu
zat, energi, dan/atau komponen lain yang secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan
hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.
Indonesia
sebagai negara produsen terbesar (50%) minyak sawit dunia bersama-sama dengan
Malaysia (30%) memberikan kontribusi 80%
terhadap kebutuhan minyak sawit dunia. Dan saat ini bisnis minyak sawit
Indonesia sudah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi perekonomian nasional.
Total ekspor
minyak sawit Indonesia US% 22,27 milyar (13,5% terhadap total nilai ekspor
nasional) dan menjadi andalan 22 juta penduduk Indonesia. Peluang untuk
berkembang dan memberikan sumbangsih yang semakin besar dimasa depan sangat
besar, karena keunggulan komparatif dan daya saing produk sawit ini sangat
besar, bersaing di pasar global.
Kendala dan
masalah persaingan dipasar dunia saat ini adalah persaingan dengan minyak nabati non sawit yang
dihasilkan negara pesaing seperti minyak: kedelai, jagung, bunga matahari dan kanola.
Tingkat produktivitas minyak sawit/ha yang tinggi dan harga yang sangat kompetetitif
mengakibatkan petani dan produsen minyak sawit secara bertahap mulai menggerus
pangsa pasar minyak nabati dibeberapa
negara dunia,yang pada gilirannya dalam waktu yang tidak terlalu lama minyak
sawit akan menguasai pasar dunia.
Menghadapi
persaingan global di bidang minyak nabati ini, beberapa negara penghasil minyak
nabati non sawit, telah menetapkan kebijakan untuk menghambat ekspor minyak
sawit Indonesia antara lain, Pertama,
Menetapkan bea masuk yang tinggi untuk CPO dan turunannya ( India ) dan tuduhan
dumping untuk bio diesel dari Amerika Serikat.
Kedua, Parlemen Uni Eropa (UE) menetapkan
bahwa tahun 2021, minyak sawit tidak akan lagi dimasukkan dalam perhitungan
capaian energi terbarukan.
Dan ketiga, Kampanye hitam oleh produsen dan
konsumen di UE yang mencantumkan “bebas minyak sawit” dari produk-produknnya.
Pemerintah
melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Perindustrian
(Kemenperin), sudah berupaya keras untuk melakukan lobby-lobby ke berbagai negara, untuk menetralisir hambatan-hambatan dalam
persaingan minyak sawit di pasar dunia tersebut.
Namun dipihak
lain, Pemerintah Indonesia melalui PP No 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan
Limbah B3 telah menetapkan spent
bleaching earth (SBE) sebagai limbah Bahan Beracun dan Berbahaya, yang berarti pihak Pemerintah RI secara formal
sudah menyatakan bahwa dalam proses produksi minyak sawit di Indonesia,
pemakaian bleaching earth dalam proses
produksi minyak sawit yang menghasilkan
produk SBE sebagai produk sampingan adalah
limbah B3, dan berarti adanya pengkuan bahwa minyak sawit hasil produksi
Indonesia, kemungkinan sudah terkontaminasi juga dengan bahan beracun dan
berbahaya (B3).
Penetapan
beberapa jenis limbah industri oleh Pemerintah dalam PP No. 101 Tahun 2014 dalam
kasus SBE sebagai limbah B3 sangat
ambivalen dan membingungkan, karena
dinegara pesaing terbesar penghasil minyak sawit kita seperti Malaysia , SBE tidak dikategorikan
sebagai B3.
Demikian juga
untuk beberapa jenis limbah industri sebagai mana ditetapkan dalam PP 101 Tahun 2014 sebagai limbah B3 seperti, coal tar, copper slag, aki bekas dan lain-lain, harus dikaji dan diteliti ulang
kembali secara cermat oleh Pemerintah, karena ternyata komoditi ini memiliki nilai
ekonomis tinggi dan memberikan sumbangan yang sangat signifikan terhadap produk
domestic bruto (PDB), ekspor dan penyerapan tenaga kerja apabila ditumbuh
kembangkan didalam negeri, dan komoditi limbah industri ini ternyata tidak dikatogerikan
sebagai limbah B3 oleh negara-negara pesaing lainnya.
Dalam
pelaksanaan pembinaan dan pengawasan pengelolaan limbah baik limbah B3 maupun
limbah non B3 baik ditingkat pusat dan daerah, sangat dirasakan kurangnya
koordinasi dan kerjasama masing-masing pihak terkait dalam pelaksanaan tugas
dan fungsinya.
Masing-masing
pihak pihak memiliki peta jalan (road map)
dan melaksanakan interpretasi sendiri-sendiri, lalu berjalan sendiri-sendiri
dan tidak pernah bertemu ditujuan yang sama.
Peningkatan
daya saing produk hasil industri, baik dipasar nasional dan pasar global
membutuhkan efisien dan pengurangan ekonomi biaya tinggi mulai dalam disektor
logistik, pelayanan public, sektor produksi dan paska produksi, untuk itu
sejatinya masing-masing pihak terkait melaksanakan kebijaksanaan sektoral dan
lintas sektoral secara harmoni dan terpadu.
Berdasarkan
hal-hal tersebut diatas, sudah seharusnya Pemerintah, para pakar dan seluruh
pihak yang terkait mengkaji kembali kebijaksanaan limbah industri guna :
Merevisi PP
No 101 Tahun 2014 dan Menetapkan kembali kebijaksanaan Pemerintah yang baru dan efektif
mengenai limbah industri untuk mendukung
percepatan pertumbuhan perekonomian nasional dan meningkatkan daya saing produk
akhir kita di pasar global, namun Industri nasional tetap terkendali agar tetap menjadi bidang usaha yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Menyusun Peta
Jalan (road map) Pengembangan
Industri penghasil limbah yang memiliki nilai ekonomis tinggi, memberikan
sumbangan yang signifikan terhadap perekonomian nasional dan menyerap banyak
tenaga kerja.
Road map harus dilaksanakan secara terpadu,
terarah dan terkoordinasi secara nasional oleh berbagai pihak terkait.
Lintong Manurung
Ketua
Umum DPP Jaringan Pemerhati Industri dan Perdagangan (JPIP)