Moneter.co.id - Awal pekan ini (07/05), beredar dua press release terkait wilayah kerja (WK) migas yang akan berakhir masa kontrak PSC nya (terminasi). Press release pertama, bertajuk “Maklumat Riau”, yang menyuarakan aspirasi dari “Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia”.
Maklumat Riau ini meneguhkan komitmen dalam rangka
mewujudkan kedaulatan pengelolaan energy migas nasional sesuai amanah konstitusi
UUD 1945, yaitu, pertama, mendesak
Pemerintah untuk menolak kepesertaan Perusahaan “Penumpang Gelap” dalam
kepemilikan Participating Interest (PI) pada penentuan 8 WK migas yang berakhir
masa kontraknya di tahun 2018 ini.
Kedua, mendukung
Pemerintah untuk menyerahkan WK Migas Rokan yang akan berakhir masa kontraknya
pada 08 Agustus 2021 kepada PT Pertamina (Persero) dan segera melakukan proses
alih kelola sejak dini untuk mencegah penurunan produksi migas nasional.
Ketiga, alih
kelola WK migas Mahakam secara nergy merupakan bukti nyata bahwa anak bangsa
mampu melakukan alih teknologi dari tenaga kerja asing (TKA), maka KSPMI
mendesak pemerintah untuk mencabut Perpres No.20 tahun 2018 tentang penggunaan
Tenaga Kerja Asing yang telah melecehkan kompetensi dan menghilangkan lapangan
kerja anak bangsa.
Press release kedua adalah dari Indonesian Resources
Studies (IRESS) yang menuntut Presiden Joko Widodo untuk segera membatalkan
Permen ESDM No.23 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Migas yang
Berakhir Kontrak Kerja Samanya (KKS-nya), karena bertentangan dengan konstitusi
Pasal 33 UUD 1945, menghambat peningkatan ketahanan nergy nasional dan
melanggengkan penguasaan SDA migas oleh asing, serta mengurangi potensi
penerimaan nergy nergy migas. Pemberlakuan Permen ESDM No.23/2018 juga
menghambat dominasi BUMN untuk menjadi tuan di negeri sendiri.
Permen ESDM No.23/2018 yang diterbitkan pada tanggal 24
April 2018 untuk menggantikan Permen ESDM No.15/2015. Substansi Permen
No.23/2018 tersebut antara lain kontraktor eksisting akan diberikan prioritas
untuk mengajukan proposal terlebih dahulu dengan membayar signature bonus yang
sudah ditetapkan formulanya.
Menurut IRESS dengan penerbitan Permen ESDM No.23 bertujuan
untuk memberi jalan mulus kepada kontraktor asing (existing) melanjutkan
pengelolaan wilayah kerja (WK) yang kontrak KKSnya berakhir, seperti tertuang
pada Pasal 2 Permen No.23/2018. Padahal, di Permen sebelumnya, tepatnya pada
Pasal 2 Permen ESDM No.15/2015, pengelolaan WK tersebut diprioritaskan untuk
diberikan kepada BUMN/Pertamina.
Kedua press release di atas sesungguhnya mewakili keresahan
anak bangsa terkait pengelolaan migas yang dirasakan makin jauh dari semangat
mewujudkan kedaulatan nergy.
Tragedi
Blok Cepu Jangan Sampai Terulang.
Dalam 5 tahun ke depan beberapa WK migas
kontrak PSC nya akan terminasi. Di tahun 2018, ada 8 blok yang terminasi
seperti, blok Tuban, Ogan Komering, North Sumatera Offshore, North Sumatera B,
Sanga-sanga, Southeast Sumatra, East Kalimantan, Attaka, dan Tengah. Di
tahun 2019 ada empat blok yang akan
terminasi seperti, Pendopo Raja, Seram, Jambi Merang, dan Bula. Lalu, di tahun
2020, ada lima blok yang akan terminasi yakni, Brantas, Jambi B, Kepala Burung,
Makassar Strait, dan Salawati.
Lalu, pada 2021 ada tiga blok yang terminasi
yakni, Rokan, Selat Panjang, dan Bentu Segat. Pada tahun 2022 terdapat empat
blok terminasi yakni, Coastal Plain Pekanbaru, Sengkang, Tarakan, dan tungkal.
Pada 2023 ada tiga blok yang akan habis kontrak yakni, Rimau, Koridor, dan
Jabung.
Sebagai catatan, produksi Blok Koridor saat ini
berkontribusi 17% terhadap produksi gas nasional. Paling menarik, blok yang cukup
besar yakni Rokan akan mengalami terminasi di tahun 2021. Rokan yang dikelola
oleh Chevron Pacific Indonesia itu mencatat lifting minyak bumi sebesar 224
ribu barel per hari atau berkontribusi sebesar 28% dari total lifting minyak
bumi Indonesia.
Kondisi migas Indonesia saat ini sebenarnya
juga berat, penuh tantangan. Kebutuhan migas terus meningkat, sedangkan
produksi terus menurun. Kebutuhan sector transportasi masih didominasi bahan
bakar minyak (BBM). Produksi minyak hanya 800 ribu barel per hari, dengan
kebutuhan 1,6 juta barel per hari, sehingga terpaksa impor dalam bentuk crude
300 ribu barel dan BBM 500 ribu barel. 70% dari produksi migas bertumpu dari
lapangan tua (mature field) yang dikembangkan sebelum tahun 1990.
Data 10
tahun terakhir menunjukkan, angka rata-rata rasio penggantian penemuan
cadangan minyak atau oil
reserve replacement ratio (RRR) adalah sebesar 73%. Di tahun
2016, RRR sebesar 60% namun di tahun 2017, turun jadi 55%. Ini berarti angka penemuan cadangan minyak lebih sedikit
dibanding cadangan yang diproduksikan, singkatnya untuk setiap 1 barel minyak
yang diproduksi, hanya tergantikan sebesar 0,55 barel.
Mengutip
BP statistical review 2016, cadangan minyak terbukti turun drastis sejak 15
tahun terakhir. Tahun 2001, cadangan minyak bumi Indonesia masih sebesar 5,1
miliar barel dan terus turun hingga 3,3 miliar barel di tahun 2016. Pertamina
sebagai BUMN migas nasional, memiliki penguasaan cadangan dan produksi migas
yang lebih sedikit dibandingkan dengan national oil company (NOC) lainnya.
Pertamina hanya menguasai sekitar 10% dari total cadangan
migas nasional, tertinggal jauh di bawah Saudi Aramco (Arab Saudi) sebesar 99%,
Statoil Norwegia sebesar 54%, Petronas Malaysia sebesar 49%, Petrovietnam
sebesar 33% dan PTT Thailand sebesar 30%. Dari sisi produksi, Pertamina hanya
berkontribusi sebesar 21% dari total produksi migas nasional. Masih tertinggal
dibandingkan dengan Saudi Aramco 99%, Statoil 58%, Petronas 47%, Petrovietnam
38%, dan PTT 28%.
Kita memiliki pengalaman buruk terhadap lepasnya blok migas
dengan cadangan besar, yaitu blok Cepu. Banyak kalangan menyebut
“diserahkannya” blok Cepu sebagai tragedi atas Nasionalisme yang Tergadai. Blok Cepu adalah ladang minyak yang
berada di Cepu, Blora, Jawa Tengah.
Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu mengandung cadangan
potensial migas sebanyak 2,6 miliar barel dan gas 14 triliun kaki kubik (TCF).
Berdasarkan kajian internal Humpuss Patragas (HPG) pada tahun 1995, potensi
cadangan migas Blok Cepu secara keseluruhan mencapai 10,96 miliar barel minyak
dan gas sebesar 62,64 TCF.
Dengan asumsi recovery rate 30% maka potensi cadangan migas
mencapai 3,28 miliar barel minyak dan gas 18,80 TCF. Jika harga minyak 60
USD/barel dan gas 3 USD/mmbtu, maka pendapatan kotor dari akumulasi produksi
migas tersebut senilai USD 253 miliar atau senilai Rp 2.785 trilyun (asumsi
kurs 1 USD=Rp 11.000,-).
Wilayah Cepu sudah lama dioperasikan sebagai ladang
penghasil minyak. Lapangan Ledok pertama kali dioperasikan oleh DPM pada tahun
1891, yang kemudian dinasionalisasi menjadi PTMRI. Di tahun 1987, terbit SK
mentamben yang menetapkan diserahkannya wilayah ini kepada Pertamina (Tjatur
Sapto Edy, 2006).
Setelah sudah dilakukan berbagai persiapan operasi,
survey sampai rencana pemboran, hak
pengelolaan blok Cepu justru diserahkan kepada HPG. Pemberian konsesi ini
dikenal dengan istilah Technical Assistance Contract (TAC) antara Pertamina dan
HPG pada 3 Agustus 1990.
Belakangan, HPG menjual 49% sahamnya kepada Ampolex,
perusahaan minyak Australia. Ampolex kemudian diakuisisi ExxonMobil dan pada
bulan Juni 2000, sisa saham HPG sebesar 51% dijual ke ExxonMobil, sehingga
seluruh saham 100% HPG jadi milik ExxonMobil.
Pertamina
sejak awal menyatakan memiliki kemampuan untuk mengelola sendiri Blok Cepu,
baik secara finansial maupun teknis – tidak ada kendala yang dapat menghambat
Pertamina untuk beroperasi di wilayah tersebut.
Pertamina
saat itu sudah menyatakan kesanggupannya mengelola blok tersebut. ExxonMobil,
perusahaan raksasa migas asal Amerika Serikat juga menyatakan berminat
mengelola blok tersebut. Pemerintah membentuk tim perunding.
Meski
demikian, pada akhirnya, pemerintah Indonesia saat itu menyerahkan pengelolaan blok tersebut kepada
ExxonMobil melalui penandatanganan joint operating agreement (JOA) pada Maret
2006. Padahal, tidak ada satu pun kontrak yang dilanggar jika blok Cepu
dikelola Pertamina.
Dengan
jatuhnya Blok Cepu ke tangan Exxon Mobil – Indonesia diperkirakan hanya akan
menerima 54 % dari total pendapatan Blok Cepu
Nilai
Strategis Pertamina dalam Mengelola WK Migas Terminasi
Dari
uraian tantangan dan kendala pengelolaan sector hulu migas nasional, maka memperkuat
posisi dan peran NOC (Pertamina), mutlak menjadi salah satu upaya mewujudkan
kedaulatan energi.
Sebagai
energy power house, sangat wajar negara memberikan ruang kepada NOC-nya . Lalu,
mengapa Pertamina yang seharusnya diberikan hak istimewa (privilege) untuk
mengelola WK migas terminasi?
Amanat konstitusi, khususnya
Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 UUD ’45–secara substansial menyebutkan dengan tegas
bahwa: Pertama, perekonomian disusun sebagai usaha bersama, Kedua asasnya
adalah kekeluargaan. Ketiga, cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Keempat, bumi dan air serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara.
Kelima, kekayaan tersebut
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Merujuk
kepada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.36/PUU-X/2012 sebagai hasil judicial
review atas UU Migas No.22/2001, maka pengelolaan WK migas hanya boleh
dilakukan oleh BUMN.
Hal ini merupakan perwujudan dari amanat Pasal 33 UDD 1945
tentang 5 aspek penguasaan negara yang harus berada di tangan pemerintah dan
DPR, yakni pembuatan kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan
pengawasan. MK menegaskan, khusus untuk aspek pengelolaan, penguasaan negara
tersebut dijalankan oleh pemerintah melalui BUMN (Marwan Batubara, 2018).
Migas sampai saat ini masih
jadi andalan sector energy nasional. Di tahun 2016, migas
berkontribusi 61% terhadap sumber energi primer nasional, dan diproyeksikan
migas masih berkontribusi 47% di tahun 2025. Artinya, pengelolaan sector
strategis oleh negara melalui BUMN merupakan amanat konstitusi yang wajib
dilaksanakan.
Agenda Nawacita bidang ekonomi adalah mewujudkan
kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor strategis ekonomi domestik.
Salah satu sasarannya adalah mewujudkan kedaulatan energi. Kedaulatan energi adalah hak
suatu negara secara mandiri menentukan kebijakan pengelolaan energi untuk
mencapai ketahanan dan kemandirian energi.
Sektor energi, memiliki peran amat strategis dalam
kegiatan ekonomi suatu negara. Begitu pentingnya sektor ini sehingga sejak awal
menjadi bagian dari agenda kampanye JKW-JK yang bertekad mewujudkan Pertamina
sebagai tuan rumah di negeri sendiri.
Alasannya, saat ini Pertamina hanya
menguasai 21% produksi minyak dalam negeri. Sedangkan di Malaysia, Petronas sebagai
NOC menguasai 60% produksi minyak di negaranya. Jokowi-JK dalam paparan
kampanye di tahun 2014 berjanji akan memberikan dukungan berupa kebijakan yang
mendukung, permodalan, strategi bisnis, kemampuan teknis, dan budaya
perusahaan.
Target Jokowi-JK terhadap Pertamina
yaitu: berkontribusi
terhadap produksi minyak dalam negeri lebih dari 50% dalam waktu 5 tahun. Pertamina menjadi perusahaan energi kelas
dunia di kancah internasional, dan Pertamina menjadi kebanggaan seluruh bangsa
Indonesia.
Pertamina
adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Artinya apabila pengelolaan migas
dilakukan oleh Pertamina, maka 100% keuntungan akan masuk ke negara (kantong
kiri-kantong kanan).
Oleh
karena itu, tidak relevan membandingkan penawaran Pertamina dengan KKKS lainnya
yang sudah pasti split pendapatannya akan dibagi antara negara dan perusahaan swasta
tersebut. Pertamina sebagai powerhouse energy nasional, harusnya didukung
pemerintah untuk membangun kemandirian, martabat dan menjadi tuan di negeri
sendiri:
Pertamina
sudah terbukti mampu mengelola blok alih kelola ONWJ di tahun 2009 dan WMO di
tahun 2011. Bahkan meningkatkan produksi migas di blok tersebut dengan kinerja
operasi excellent. Tercatat, sejak 1 Januari 2018, Pertamina melalui Pertamina
Hulu Mahakam mengelola blok Mahakam, dan hingga saat ini kegiatan operasi
berjalan lancar.
Sehingga
munculnya kekhawatiran akan terjadi penurunan produksi migas di blok tersebut
sangat tidak beralasan. Ketidakpercayaan pada kemampuan Pertamina berarti
ketidakpercayaan pada kemampuan bangsa sendiri untuk mengelola blok migas yang
sudah mature (relatif low risk).
Sebagai
perusahaan negara, 100% migas yang dihasilkan dapat dialokasikan untuk memenuhi
kebutuhan domestik, atau sebanyak yang bisa diserap oleh pasar domestik.
Termasuk yang menjadi entitlement lifting
KKKS.
Dengan
dikelola NOC, dalam lingkup pengadaan dan jasa penunjang operasi migas tingkat
kandungan dalam negeri (TKDN) juga diharapkan dapat ditingkatkan secara
signifikan. Dampaknya akan mendorong tumbuhnya industri dalam negeri,
meningkatkan nilai tambah/added value dan multiplier effect dari rantai bisnis
migas.
Memberikan
kesempatan dan prioritas kepada operator existing untuk mengajukan opsi
perpanjangan pengelolaan WK tersebut justru setelah Pertamina menyampaikan
penawarannya adalah hal yang tidak fair
(post bidding).
Membenturkan antara kebijakan alih kelola WK terminasi dengan isu nasionalisasi merupakan dua hal berbeda dan tidak relevan. Isu nasionalisasi ini lah yang diangkat Wamen ESDM dalam keterangannya terkait terbitnya Permen no 23 tahun 2018, sebagai masukan dari beberapa perusahaan migas asing yang beroperasi di Indonesia.
Alasan
kebijakan mekanisme alih kelola WK terminasi disebabkan karena memang kontrak
PSC nya berakhir, sehingga WK migas tersebut otomatis dikembalikan kepada
negara. As simple as that.
Sedangkan
nasionalisasi migas, bermakna bahwa negara secara sepihak membatalkan kontrak
migas yang sudah berjalan, mengeluarkan regulasi baru yang secara mendasar
mengubah regulasi sebelumnya, mengambil alih operatorship.
Sebagai
contoh nasionalisasi adalah kebijakan migas Venezuela, yang mengharuskan semua
kegiatan eksplorasi, eksploitasi, transportasi dan storage hanya boleh
dilakukan oleh perusahaan negara atau dalam bentuk “mixed company”, di mana
partisipasi negara PDVSA minimum 60%. Perusahaan migas juga dinaikkan pajak
pendapatan dari 34% menjadi 50%
Dari 7 point pertimbangan di atas, maka penulis mengusulkan
beberapa pokok pikiran terkait alih kelola WK migas terminasi, yaitu :
Pertama, Pemerintah hendaknya segera membatalkan permen no 23 tahun
2018 dan mengeluarkan kebijakan yang justru mempertegas permen ESDM no 15 tahun
2015. Dengan memprioritaskan BUMN (Pertamina) untuk mengelola WK terminasi,
merupakan pelaksanaan amanat konstitusi dan sejalan dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) No.36/PUU-X/2012 sebagai hasil judicial review atas UU
Migas No.22/2001, bahwa pengelolaan WK migas hanya boleh dilakukan oleh BUMN.
Apabila
dianggap diperlukan revisi regulasi, tentunya secara substantive harus
memperkuat peran Pertamina, bukan malah membatalkannya tanpa dasar hokum dan
pertimbangan yang dapat diterima publik.
Kedua, Pemerintah segera menetapkan pengelolaan blok migas yang
terminasi, pengelolaan 100% kepada Pertamina dalam suatu keputusan menteri,
sesuai dengan surat penunjukan yang sudah dibuat sendiri oleh Pemerintah
sebelumnya, untuk memperkuat peran perusahaan negara dan meningkatkan ketahanan
energi nasional (sasaran nawacita sektor energy).
Ketiga, Mempercepat
proses penandatanganan kontrak PSC blok-blok terminasi, sebagai tindak lanjut
kebijakan penunjukan pengelolaan 100% kepada Pertamina. Dengan adanya kepastian
ini, maka Pertamina memiliki cukup waktu untuk menyiapkan mekanisme transisi,
antara lain scenario alih kelola, penyiapan biaya investasi, dan alokasi sumber
daya yang dibutuhkan. Sehingga tidak ada lagi cerita keputusan last minute yang berdampak pada
kestabilan keberlanjutan operasi-produksi.
Keempat, Pemerintah
dapat memberikan hak partisipasi (Participating
Interest, PI) pengelolaan blok-blok migas tersebut kepada Daerah terkait
(10%) sesuai dengan aturan yang berlaku, sepanjang betul-betul dikelola oleh
BUMD tanpa partisipasi atau kerjasama dengan swasta yang berpotensi merugikan
daerah.
Kelima, Untuk
mengoptimalkan keuntungan bagi perusahaan negara, keterlibatan investor dapat
dilakukan melalui mekanisme farm in secara
business to business (B to B) dengan
perusahaan negara, sesuai dengan harga yang wajar. Mekanisme transisi blok
Mahakam, dan proses penawaran participating
interest kepada investor, dapat dijadikan rujukan dalam alih kelola
blok-blok terminasi ini.
Keterlibatan investor ini dengan semangat kerja sama
saling menguntungkan, khususnya investor yang memang berpengalaman di sektor
hulu. Juga terkait konteks berbagi risiko (risk
sharing), baik risiko investasi dan operasi, maupun transfer skill dan
teknologi.
Penulis - Eko Setiadi
Co-Founder Center of Excellence for Energy
Innovations and Technology Studies (CENITS) / Alumnus
Energy MBA - SBM ITB