Moneter.co.id – Pernyataan anggota DPR RI Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto tentang Reformasi yang tidak membuat Indonesia lebih baik dibandingkan saat Orde Baru disayangkan banyak kalangan. Putri mantan Presiden Soeharto dinilai mengabaikan banyak fakta terkait penguatan peran masyarakat sipil dalam proses pembangunan nasional.
“Kami menilai pernyataan Titiek Soeharto itu menyesatkan, seolah mengabaikan fakta jika ada perbedaan sangat besar masa Orde Baru dengan masa Reformasi,” kata Ketua Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Rumah Gerakan (RG) 98 Wawan Purwandi dalam rilisnya di Jakarta, Senin (13/3).
Dia menjelaskan, sejak runtuhnya Orde Baru terjadi perubahan besar-besaran dalam tatanan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Menurut dia, jika sebelumnya semua aktivitas pembangunan serba bersifat sentralistik, maka dengan adanya Reformasi proses pembangunan dilakukan dengan sistem desentralisasi yang ditandai oleh pelibatan aktif masyarakat.
"Belum lagi di zaman Orde Baru banyak kejahatan kemanusiaan seperti pelanggaran HAM, penculikan dan penghilangan aktifis, teror dan intimidasi, kejahatan kerah putih, korupsi yang merajalela, dan sebagainya," jelas dia.
Di era Reformasi, lanjut Wawan, tumbuh berkembang praktik partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas di tiap level legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
“Penguatan peran masyarakat sipil terjadi di era Reformasi. Masyarakat tidak hanya menjadi objek pembangunan seperti di masa Orde Baru, tetapi mereka juga bisa berperan aktif sebagai subjek pembangunan," ujar dia.
Penguatan peran masyarakat itu, imbuh Wawan, dapat dilihat dari berbagai bidang desentralisasi politik, ekonomi dan administratif. Dia mencontohkan di bidang politik, di mana pelaksanaan pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah merupakan buah dari reformasi.
"Jika di masa Orde Baru tentu hal tersebut tidak dimungkinkan, karena kuatnya intervensi penguasa dalam menentukan pemimpin-pemimpin pemerintahan," katanya,
Pun juga di bidang ekonomi terjadi perubahan sangat besar di mana dengan sistem desentralisasi fiskal memungkinkan transfer anggaran dari pusat ke daerah jauh lebih besar dibandingkan saat Orde Baru.
“Di masa Reformasi ini pengakuan terhadap peran masyarakat dilakukan dari level provinsi, kabupaten hingga di level desa dengan diundangkannya UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 6/2014 tentang Desa," jelasnya.
Kedua UU tersebut menjamin pasokan pendanaan pembangunan daerah dan desa dengan adanya Dana Transfer dan Dana Desa yang ditransfer langsung ke kabupaten dan desa-desa.
Dana tersebut dialokasikan untuk membiayai kebutuhan dasar dan pelayanan publik. Perlahan namun pasti yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa.
Jika saat ini masih dijumpai berbagai ketimpangan sosial, terang Wawan, hal itu tak lebih sebagai sisa dampak pola pembangunan yang dilakukan di masa Orde Baru.
Dia menilai saat Orde Baru pembangunan hanya difokuskan di Pulau Jawa. Berbagai regulasi pembangunan juga di-setting untuk menguntungkan kelompok-kelompok tertentu. Kondisi tersebut saat ini masih menyisakan ketimpangan pembangunan.
“Sejak Reformasi hal itu pelahan diubah, tentu tidak bisa dengan sim salabim semua bisa berubah dengan waktu cepat. Namun kami melihat sudah ada perubahan mendasar jika dibandingkan masa Orde Baru," terang dia.
Pemerintah Jokowi-JK pun saat ini lagi giat-giatnya mengeser pola pembangunan Jawa sentris ke Indonesia sentris dengan berbagai proyek dan pembangunan manusianya. "Tentu fakta ini sangat berbeda dibandingkan masa Orba,” tegas dia.
Reporter : Inka