Selasa, September 30, 2025

Rupiah Melemah, Tapi Tidak Akan Seperti Krisis Moneter 1998

Must Read

Moneter.id – Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu
Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden Denni Puspa Purbasari 
menegaskan, trend penurunan nilai mata uang
rupiah berbanding Dolar AS yang saat ini terjadi tidak akan mencapai titik
krisis moneter seperti tahun 1998.

“Pemerintah tidak panik, tetapi lebih mawas
diri dalam mengobservasi data market Indonesia serta berbagai perkembangan
terkini di dunia internasional,” kata Denni dalam DBS Asian Insight Seminar
bertema ‘A Look into Stability and Sustainability: Political and Economic
Perspective’ di Jakarta, baru-baru ini.

Denni menekankan bahwa Indonesia memiliki
pengalaman sebagai negara yang pernah mengalami krisis-krisis sebelumnya.
“Karena itu percayalah, pemerintah dapat melakukan aksi pencegahan agar kita
tak jatuh dalam krisis,” katanya.

Denni juga menggarisbawahi agar masyarakat
tidak perlu panik dan reaksioner menghadapi kondisi ini. “Situasi Indonesia ini
jauh berbeda dibandingkan kondisi pada 1998 atau 2008. Satu hal yang pasti
bahwa pada saat ini cadangan devisa kita jauh lebih kuat, lima kali lebih kuat
dibanding 1998,” kata Denni.

Hal positif lain, menurut Denni, Bank Indonesia
(BI) mencatat adanya aliran masuk modal asing mencapai 4,5 miliar Dolar AS ke
Indonesia. “Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga solid serta
peringkat surat utang pemerintah tidak masalah, sehingga kita masuk dalam
investment grade yang bagus atau layak investasi menurut lima lembaga
pemeringkat ekonomi,” ungkapnya.

Tak kalah penting adalah independensi Bank
Indonesia. “Ini beda dengan intervensi yang dilakukan pemerintah Turki dan
Argentina terhadap bank sentralnya, sehingga ada hambatan ketika bank sentral
ingin menaikkan suku bunga, misalnya,” kata Denni.

Denni menegaskan, Pemerintah tidak bersikap
santai menghadapi situasi ini. “Pemerintah sangat mawas akan hal ini, dengan
menguatkan koordinasi dengan otoritas moneter dan juga Otoritas Jasa Keuangan,”
urainya.

Juga tak kalah penting menurut Denni,
Indonesia memiliki hubungan cukup baik dengan bank sentral negara lain seperti
Jepang, China, Korea Selatan, dan Australia.

“Kita punya bilateral soft arrangement, jadi
saat misalnya kita butuh dolar, kita bisa minta bank sentral negara-negara itu
untuk memback-up, walaupun cadangan devisa kita saat ini ada 118 Milar Dolar
AS,” jelas doktor ekonomi lulusan University of Colorado itu.

Denni memaparkan, pemerintah menahan harga
BBM sejak tahun lalu demi menjaga daya beli masyarakat terjaga, termasuk dengan
meningkatkan subsidi untuk solar serta efisiensi Premium oleh Pertamina.

Terkait fluktuasi nilai rupiah terhadap Dolar
AS, Denni mengingatkan, bahwa sebagai negara pengekspor minyak dan beberapa
komoditas lain, pemerintah juga mendapatkan mendapatkan windfall berupa
kenaikan PNBP.

“Keuntungan ini antara lain digunakan untuk
mensubsidi solar agar dapat menstimulasi produktivitas di bidang industri
khususnya transportasi barang dan jasa,” paparnya.

Terkait daya dukung masyarakat, Denni masih
melihatnya sebagai hal yang positif. Dapat dilihat bahwa konsumsi sudah tumbuh
di atas lima persen. Namun pertumbuhan ini harus terus dipantau, beserta pula
beberapa indikator lainnya.

“Stabilitas ekonomi itu sangat penting, kita
tidak bisa hidup dalam kondisi besar pasak daripada tiang. Apabila bertahan
seperti itu ekonomi kita bisa jatuh,” kata Denni.

Intinya, pungkas Denni, berkaca dari
indikator-indikator ekonomi yang baik tadi, masyarakat tidak perlu panik. “Yang
terjadi di dunia sana biarlah terjadi di sana, kita tetap saja fokus bekerja
membangun bangsa,” katanya.

 

(TOP)

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Latest News

Lepas Ekspor Produk Olahan Susu dari Cikarang, Mendag Busan : Ini Bukti Daya Saing Produk Mamin Indonesia

Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso melepas ekspor empat kontainer susu bubuk dan susu kental manis produksi PT Frisian Flag...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img