Moneter.id – Kementerian
Keuangan (Kemenkeu) menegaskan penyebab BPJS Kesehatan mengalami defisit salah
satunya dikarenakan adanya tunggakan iuran peserta mandiri sekitar Rp15 triliun
selama tahun 2016-2018.
“Kedisiplinan
membayar iuran bagi peserta mandiri ini sangat penting,” kata Kepala Biro
Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti di
Jakarta, Minggu (8/9).
Terkait kenaikan
iuran BPJS Kesehatan, Nurfransa menjelaskan sepanjang tahun lalu, total iuran
dari peserta mandiri mencapai Rp8,9 triliun. “Namun, total klaimnya mencapai
Rp27,9 triliun atau memiliki rasio mencapai 313%,” ucapnya.
Pada
akhir tahun anggaran 2018, ujar dia, tingkat keaktifan peserta mandiri hanya
53,7%. Artinya, 46,3% dari peserta mandiri tidak disiplin membayar iuran alias
menunggak.
Nurfransa
mengungkapkan dengan rasio yang tinggi itu seharusnya kenaikan iuran tersebut
mencapai lebih dari 300%. Namun,
pemerintah mengusulkan kenaikan iuran 100% untuk kelas I dan II dan 65% untuk
kelas III.
“Dalam
mengusulkan kenaikan iuran itu, pemerintah mempertimbangkan tiga hal yakni kemampuan
peserta dalam membayar iuran,” jelas Nurfransa.
Pertimbangan
kedua yakni upaya memperbaiki keseluruhan sistem Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) sehingga terjadi efisiensi, dan ketiga, gotong royong dengan peserta pada
segmen lain.
Apabila
ada peserta yang merasa benar-benar berat membayar, kata dia, peserta tersebut
dapat melakukan penurunan kelas, dari kelas I menjadi kelas II atau kelas III;
atau dari kelas II turun ke kelas III.
Khusus
untuk peserta mandiri kelas III, lanjut dia, akan naik menjadi sebesar Rp42 ribu,
sama dengan iuran bagi orang miskin dan tidak mampu yang iurannya dibayar oleh
Pemerintah.
“Bahkan
bagi peserta mandiri kelas III yang merasa tidak mampu dengan besaran iuran
ini, dan nyata-nyata tidak mampu, dapat dimasukkan ke dalam Basis Data Terpadu
Kemensos yang iurannya dibayarkan Pemerintah,” ucapnya.
Nufransa
menambahkan kenaikan iuran itu tidak akan mempengaruhi penduduk miskin dan
tidak mampu.
Saat
ini, sebanyak 96,6 juta penduduk miskin dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh
Pemerintah Pusat melalui APBN yang disebut Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Sedangkan, sebanyak 37,3 juta jiwa lainnya iurannya dibayarkan oleh pemerintah
daerah melalui APBD.
Sementara
itu, untuk pekerja penerima upah, baik aparatur sipil negara (ASN) pusat dan
daerah, TNI, Polri dan pekerja swasta, penyesuaian iuran akan ditanggung
bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.
Nufransa
menambahkan setiap tahun program JKN mengalami defisit sebesar Rp1,9 triliun
tahun 2014, kemudian Rp9,4 triliun (2015), Rp6,7 triliun (2016), Rp13,8 triliun
(2017), dan Rp19,4 triliun (2018).
Untuk
mengatasi defisit JKN itu, Pemerintah memberikan bantuan dalam bentuk Penanaman
Modal Negara (PMN) sebesar Rp5 triliun (2015) dan Rp6,8 triliun (2016) serta
bantuan dalam bentuk bantuan belanja APBN sebesar Rp3,6 triliun (2017) dan
Rp10,3 triliun (2018).
“Tanpa
dilakukan kenaikan iuran, defisit JKN akan terus meningkat, yang diperkirakan
akan mencapai Rp32 triliun pada tahun 2019, dan meningkat menjadi Rp44 triliun
pada 2020 dan Rp56 triliun pada 2021,” tutup Nurfransa. (Ant)