Moneter.id - Satu tahun terakhir ini, istilah revolusi industri 4.0 sering diulas di media. Apakah revolusi industri 4.0 itu? . Konsep revolusi industri 4.0 pertama kali diperkenalkan ekonom Jerman Profesor Klaus Schwab. Dalam bukunya, The Fourth Industrial Revolution.
Revolusi industri generasi pertama ditandai oleh penggunaan mesin uap.
Generasi kedua, melalui penerapan konsep produksi massal dan mulai
dimanfaatkannya tenaga listrik, telegraf dan produksi baja. Generasi ketiga,
ditandai dengan penggunaan teknologi otomasi berbasis computer dalam proses
industri.
Revolusi industri keempat, terjadi lompatan besar sektor industri, dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Tak hanya dalam proses produksi, melainkan
juga di seluruh rantai nilai industri sehingga melahirkan model bisnis baru, dengan efisiensi tinggi dan kualitas produk yang lebih baik.
Industri 4.0 dipicu oleh kemajuan teknologi internet untuk segalanya
(IoT - Internet of Things), Artificial
Intelligence, Human–Machine Interface, teknologi robotic dan sensor serta 3D
printing, yang secara revolusioner mengubah perilaku manusia, model bisnis,
budaya kerja, dan menghancurkan (disrupt) sistem yang ada serta menciptakan
peluang baru di berbagai bidang.
Industri 4.0 adalah keniscayaan mengatasi situasi global yang dinamis
dan bersifat VUCA (volatile, uncertain, complex dan ambiguous).
Sementara Indonesia
tak mau ketinggalan, dalam menghadapi sekaligus memanfaatkan hadirnya revolusi
industri 4.0. Presiden Joko Widodo
telah meluncurkan peta jalan dan strategi Indonesia untuk menerapkan
revolusi industri ke-4 (Industrial
Summit, April 2018).
Peta jalan yang diberi nama Making Indonesia 4.0 itu memberikan arah
pembangunan industri nasional ke depan. Kementerian Perindustrian ditunjuk
menjadi koordinator program tersebut. Lewat peta jalan tersebut, pemerintah mendorong pembangunan
industri manufaktur untuk mampu berdaya saing global melalui percepatan
implementasi industri 4.0.
Peta jalan itu akan menjadi panduan strategi pengembangan industri
Indonesia dalam memasuki era digital saat ini. Industri 4.0 ditopang oleh konektivitas
serta interaksi melalui teknologi, informasi dan komunikasi yang terintegrasi.
Indonesia akan fokus pada lima sektor manufaktur, yaitu industri makanan
dan minuman, industri tekstil dan pakaian, industri otomotif, industri kimia,
serta industri elektronik. Implementasi roadmap industri 4.0, sektor manufaktur
diproyeksikan tumbuh dari baseline 5% di tahun 2018 menjadi 6-7% sampai tahun 2030.
Lima sektor ini berkontribusi sebesar 21-26% terhadap PDB di tahun 2030.
Setidaknya
terdapat lima aplikasi teknologi yang menandai perubahan masa depan, yaitu:
baterai yang powerful untuk energi terbarukan; perangkat cerdas dan kinerja
mesin secara real-time; fuel cells untuk stasiun system pembangkit tenaga;
digital oil fields; smart grid system.
Aplikasi industri akan membutuhkan lebih banyak daya dan
baterai dengan kapasitas yang lebih besar. Contohnya, Tesla yang sedang
mengembangkan baterai lithium berkapasitas 100 megawatt di Australia Selatan.
Tujuannya adalah menyediakan daya yang cukup untuk
menghidupkan listrik di 30 ribu rumah selama satu jam atau 8 ribu rumah selama
24 jam, juga menyalakan
jaringan listrik terbarukan di sana. Proyek ini sangat bermanfaat bagi daerah
terpencil dan sangat efisien.
Intelligent Drive for Industrial IoT
Siemens
telah meluncurkan konsep drive baru untuk aplikasi industri, perangkat yang
terintegrasi ke dalam industri Internet of Things. Perangkat ini disebut
Simotics IQ. dengan teknologi sensor yang ringkas. Teknologi ini dapat merekam
parameter operasi dan status yang penting, kemudian rekaman ini dikirimkan ke
pusat kendali atau ke cloud melalui Wi-Fi.
Data
operasi dianalisis menggunakan Simotics IQ MindApp untuk membuat gambaran
detail mesin sehingga sangat berguna bagi para insinyur untuk merencanakan
kegiatan pemeliharaan preventif. Fokus utamanya adalah dengan mengumpulkan
lebih banyak informasi real-time tentang kinerja mesin sehingga perbaikan atau
penggantian dapat terjadi dengan cepat.
Fuel Cells for Data Centers
Power
supply system mengkonsumsi energi tingkat tinggi. Salah satu cara untuk
mengurangi konsumsi daya adalah melalui aplikasi fuel cells. Baru-baru ini
Daimler, yang bermitra dengan Hewlett Packard, mendemonstrasikan penggunaan
fuel cells untuk stasiun power supply system.
Fuel
cell ini 40% lebih powerfull dan dimensi fisiknya 30% lebih kecil daripada yang
digunakan saat ini. Datacenter adalah salah satu konsumen energi terbesar dalam
ekonomi sekarang.
Datacenter
berbasis hidrogen terdiri dari sel bahan bakar, elektroliser, tangki
penyimpanan, fotovoltaik dan pembangkit listrik tenaga angin. Dengan model ini,
kebutuhan daya penting dari datacenter disediakan oleh pembangkit listrik
tenaga surya dan angin. Ketika energi matahari dan angin yang dihasilkan
melebihi kebutuhan yang ada, kelebihan energi dapat disimpan atau digunakan
untuk menghasilkan hidrogen melalui proses elektrolisis.
Digital Oilfields
Tujuannya
untuk memaksimalkan oil recovery, menghilangkan waktu non-produktif, dan
meningkatkan laba melalui desain dan distribusi alur kerja yang terintegrasi.
Digital Oilfields menggabungkan manajemen proses bisnis dengan teknologi
informasi dan keahlian teknik pekerja untuk otomatisasi berbagai pekerjaan yang
dilakukan oleh tim lintas fungsi.
Digital
oilfields mengintegrasikan serangkaian kegiatan sektor hulu migas, mulai dari
kegiatan eksplorasi, pemboran, perawatan sumur, facility integrity dan
maintenance, melalui teknologi control digital berbasis teknologi informasi,
big data dan komunikasi yang terstandarisasi.
Smartgrid System
Smart grid adalah jaringan listrik pintar yang mampu mengintegrasikan
kegiatan dari semua pengguna, mulai dari pembangkit sampai ke konsumen dengan
tujuan agar efisien, berkelanjutan, ekonomis dan supply listrik yang aman (IEC,
2010).
Pemanfaatan sinergi dalam system tersebut bertujuan memaksimalkan
efisiensi, menyeimbangkan pasokan dan permintaan listrik dengan metode paling
efisien.
Caranya dengan mengintegrasikan sumber energi, distribusi dan jalur
transmisi serta konsumsi yang optimal (manajemen permintaan, penyimpanan, smart
meter). Smart energi berbasis energi terbarukan 100%..
Pertumbuhan Ekonomi dan Tantangan Pengelolaan Energi 4.0
Hasil riset Pricewaterhouse Cooper (PWC) yang dirilis
September 2017 mengenai negara-negara yang akan memiliki perekonomian terkuat
pada 2030 mendatang menyusun proyeksi data statistik angka gross domestik
product (GDP) dengan paritas daya beli (purchasing power parity) untuk setiap
negara.
GDP sendiri merupakan total nilai produksi barang dan jasa
setiap negara selama satu tahun.
Economist PwC, memprediksi Indonesia
akan berada di peringkat 5 di tahun 2030 dengan estimasi nilai GDP US$5.424
miliar dan naik menjadi di peringkat 4 di tahun 2050 dengan estimasi nilai GDP
US$10.502 miliar. Posisi tersebut
akan menjadikan Indonesia big emerging market dengan perekonomian
terkuat di Asia Tenggara.
Untuk menopang pertumbuhan ekonomi
tersebut, mutlak membutuhkan pasokan energi yang mendukung. Prasyarat
infrastruktur yang harus dipenuhi antara lain: ketersediaan sumber daya energi dan listrik yang memadai-murah-kontinyu, ketersediaan infrastruktur jaringan internet
dengan bandwidth yang besar dan jangkauan luas.
Ketersediaan data
center dengan kapasitas penyimpanan yang cukup, aman dan terjangkau. Infrastruktur logistik modern, dan kebijakan
ketenagakerjaan yang mendukung kebutuhan industri sesuai dengan karakter industri 4.0.
Tantangan pengelolaan energi Indonesia tidak hanya dari sisi penyediaan
saja, tapi menyangkut semua aspek, mulai dari pasokan, pengolahan, penyaluran,
pemanfaatan, dan efisiensi energi. Dari
sisi penyediaan energi dapat kita lihat dari kondisi bauran energi saat ini.
Bauran energi
di tahun 2017 mencatat: porsi minyak bumi
sebesar 47%, gas sebesar 21%, coal sebesar 19,5% dan EBT masih 12,5%, yang terdiri
terdiri dari pembangkit listrik tenaga panas bumi
(PLTP) sebesar 5%, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebesar 7,27% dan
pembangkit lainnya sekitar 0,25%. Target bauran energi di tahun 2030
adalah: minyak bumi sebesar 22%, gas
sebesar 23%, coal sebesar 30% dan EBT naik menjadi 25%.
Dari sisi prosentase, kontribusi energi primer berbasis fosil
(minyak & gas) memang makin berkurang. Namun seiring meningkatnya konsumsi
energi domestik, volume kebutuhan migas justru malah meningkat.
Tahun 2014, kebutuhan migas dalam bauran energi sebesar 66%
atau 108 mtoe - tahun 2025, proyeksi kebutuhan migas sebesar 47% atau 178 mtoe
- tahun 2030, meningkat menjadi 216 mtoe.
Faktanya
jumlah cadangan minyak dan gas bumi (migas) Indonesia terus menipis. Penemuan
cadangan baru migas tak secepat tingkat cadangan yang diproduksi. Reserve replacement ratio (RRR) Indonesia hanya 55%,
padahal idealnya 100%.
Apabila cadangan migas baru tidak ditemukan dan tingkat produksi migas
seperti sekarang – produksi minyak mencapai 803 ribu barel per hari (bopd) dan
produksi gas sebesar 6.604 kaki kubik per hari (mmscfd), maka cadangan migas
yang kita miliki sekarang diperkirakan hanya cukup untuk 11 tahun untuk minyak,
sedangkan cadangan gas akan habis 37 tahun lagi (BP Energi Review, 2016).
Penggunaan energi baru terbarukan (EBT) masih berjalan lambat. Di tahun
2017, porsi EBT dalam bauran energi masih 8,43%. Padahal target EBT sebesar 23%
di tahun 2025. Mampukah sektor EBT dalam waktu 8 tahun meningkat sebesar 14%?
Sumber daya EBT meski potensinya besar namun belum termanfaatkan secara
maksimal karena berbagai kendala, seperti biaya investasi yang tinggi,
dicabutnya feed in tariff untuk EBT,
lokasi potensi sumber daya yang terpencil serta regulasi yang masih memerlukan
perbaikan.
Saat ini fokus pemerintah adalah mendukung konsep listrik berkeadilan,
dalam arti agar listrik dapat dinikmati semua kalangan masyarakat (murah dan
terjangkau) dan kawasan terpencil. Salah satu caranya, adalah menyediakan
listrik dengan harga murah.
Konsep listrik berkeadilan tidak berdiri sendiri, karena juga
berhubungan dengan dua faktor lainnya, yaitu terjaminnya pasokan listrik dan
keberlanjutan lingkungan. Kebijakan pemerintah adalah menentukan prioritas yang
adaptif terhadap kebutuhan ke depan.
Dari sisi
infrastruktur, Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus menggencarkan program pra elektrifikasi di
daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) dengan mengalokasikan Rp1,5
triliun dari APBN 2018 untuk pembangunan infrastruktur energi berbasis EBT.
Prioritasnya antara lain pembangunan infrastruktur Lampu
Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) dan pembangunan pembangkit listrik tenaga
mini hidro (PLTM). Namun, hingga saat ini sistem jaringan kelistrikan pintar (smart grid) belum
digunakan.
Padahal,
sistem tersebut mampu mengatur kebutuhan dan pasokan listrik dari pembangkit
secara otomatis. Rasio elektrifikasi juga makin meningkat. Tahun
2017 rasionya sebesar 95%.
Namun penyebarannya masih belum merata antara kawasan Barat dengan
Timur Indonesia. Contohnya di Papua, rasionya masih 48% dan NTT masih 59%.
Aplikasi smart grid dapat mendorong meningkatnya rasio elektrifikasi.
Dari uraian kondisi pengelolaan
energi di atas, maka tantangan pengelolaan energi saat ini dapat dikelompokkan
ke dalam dua sektor, yaitu:
1. Sektor Migas. Peningkatan Cadangan Migas melalui Kegiatan Eksplorasi
yang Massive, Optimalisasi Produksi Eksisting dan Pengembangan Infrastruktur
Migas Hulu-Hilir
2. Sektor Energi Baru Terbarukan (EBT). Percepatan implementasi EBT secara
komersial, melalui Terobosan Regulasi, Investasi dan Roadmap Implementasi
Indonesia kaya akan sumber energi terbarukan, mulai dari air, matahari,
panas bumi, angin dan bioenergi seperti biomassa dan biofuel. Namun demikian,
banyak faktor yang menghambat pengembangannya, mulai dari regulasi, kebijakan
fiskal sampai dengan model bisnis EBT sendiri.
Berdasarkan laporan dari International Institute for Sustainable
Development, terdapat beberapa hambatan dalam pengembangan energi terbarukan di
Indonesia.
Pertama, harga pembelian untuk energi terbarukan dibatasi di angka yang
terlalu rendah sehingga tidak menarik bagi pengembang pembangkit baru. Bahkan
di beberapa daerah lebih rendah daripada harga pembangkit batubara.
Kedua, kebijakan
dan peraturan yang sering berubah berdampak pada ketidakpastian dan penundaan,
serta meningkatkan risiko bagi para investor.
Ketiga, masih
adanya subsidi dan dukungan finansial untuk energi fosil khususnya batubara
bertentangan dengan komitmen transisi ke energi terbarukan. Dampaknya adalah biaya produk EBT yang kalah
kompetitif dengan batubara.
Negara-negara
lain sudah menerapkan cara yang paling efisien untuk menurunkan harga, dengan
menciptakan pasar pembangkit listrik yang kompetitif, melalui lelang terbalik (reverse
auction). Di dalam pasar yang kompetitif, mekanisme lelang dipakai
untuk menentukan energi primer yang paling murah.
Faktanya,
Indonesia perlu belajar dari Singapura dalam penerapan EBT. Negeri kecil itu di
tahun 2025 menargetkan 25% dari konsumsi energinya berasal dari solar panel.
Contoh sukses
lain adalah Kosta Rika. Negara
tersebut mampu menjadi negara dengan akses energi listrik yang hampir seratus persen
penggunaannya berasal dari energi bersih, dengan tenaga air menjadi penopang
hampir 75% untuk kebutuhan energi listrik, disusul dengan energi panas bumi
12,74% dan energi angin 10,30%.
Yang mengejutkan adalah raksasa ekonomi, China,
menempati peringkat kedua dalam hal percepatan pengembangan energi bersih di
antara negara G20. Terdapat kenaikan 118% penggunaan energi bersih dari tahun 2009
hingga 2014. Namun, bauran energi EBT China baru 5% dari total energi
nasionalnya. Percepatan penggunaan energi bersih di China didukung oleh
investasi yang agresif.
Di Denmark, energi bersih yang berasal dari air dan
angin dimanfaatkan sekitar 57% atau sekitar 159 terawatt-hours (TWh) di negara
ini. Denmark memiliki potensi energi angin yang begitu besar sehingga memiliki
kelebihan pasokan energi listrik, hingga 140% dari total jumlah pasokan listrik
nasional.Kelebihan listrik tersebut dijual kepada negara tetangga.
Karena negara
tidak bisa hanya mengandalkan APBN atau BUMN untuk menggerakkan sektor EBT,
maka investasi sektor swasta menjadi faktor andalan untuk pengembangan EBT.
Faktor
pendorong investasi tentunya adalah karena adanya kemudahan, iklim bisnis yang
mendukung, kepastian regulasi, pendanaan, risiko yang terukur, dan yang paling
penting adalah tingkat keekonomian proyek. Investor tentu memiliki proyeksi
tingkat pengembalian modal dan target laba.
Renewable Energi Country Attractiveness Index dalam laporan
yang dirilis pada Oktober 2017 lalu menempatkan Indonesia pada posisi 50 besar
negara dengan kemudahan investasi di sektor EBT.
Ini tantangan berat. Selain terobosan regulasi, sangat
mendesak perlunya inovasi bisnis model EBT yang menarik. Kita bisa belajar dari
negara-negara dengan success story
pengembangan EBT.
Penulis:
Eko Setiadi
Co-Founder
Center of Excellence for Energy Innovations and
Technology Studies (CENITS)