Moneter.id – Jakarta – Total belanja
kesehatan (TBK) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tercatat mencapai Rp606,3
triliun pada tahun 2023. ”Total belanja kesehatan terus mengalami peningkatan
setiap tahunnya, terutama pada skema asuransi kesehatan sosial,” kata Staf
Khusus Menteri Bidang Pelayanan Kesehatan Masyarakat Kemenkes Prastuti Soewondo,
Selasa (2/7/2024).
“Total
biaya kita adalah Rp606,3 triliun, dan kita lihat di sini, pas waktu COVID-19
itu naik, tahun 2020-2021. Kemudian turun di 2022 menuju ke normal, kemudian
meningkat sedikit. Di 2020 dan 2021 lebih banyak untuk treatment dan
juga vaksin,” kata Prastuti.
Prastuti
menjelaskan, dalam mengamati belanja kesehatan, penting untuk membedakan antara
sektor publik, swasta, dan non-publik. Di
Indonesia, dari total belanja Rp606,3 triliun, 57,2 persen di antaranya berasal
dari sektor publik, termasuk BPJS Kesehatan yang dianggap sebagai skema quasi
pemerintah.
Sementara
42,8 persennya berasal dari skema non-publik. “Kalau kita lihat asuransi
kesehatan sosial itu makin meningkat. Di tahun 2014, hanya Rp47 triliun dan
sekarang sudah hampir Rp167 triliun. Luar biasa peningkatannya,” ujarnya pula.
Kemudian
spesifik untuk asuransi kesehatan swasta tercatat sebesar Rp30,7 triliun pada
2023. “Kalau dibandingkan antara asuransi sosial dengan asuransi swasta itu,
jumlah dari asuransi swasta ini memang masih kecil ya,” katanya lagi.
Meskipun
demikian, Prastuti menilai belanja kesehatan di Indonesia masih rendah, hanya
3,7 persen dari produk domestik bruto (PDB). “Kita
masih rendah, kita masih 3,7 persen dari PDB. Pak Menteri bilang kita jangan
sampai seperti Amerika Serikat yang sudah 18 persen dari PDB-nya, kita mau
quality spending,” katanya pula.
Oleh
karena itu, ia menekankan pentingnya memiliki standar dalam pengeluaran
kesehatan, memastikan pengeluaran tersebut benar-benar diperlukan dan sesuai
dengan kebutuhan medis.
Ia
juga membandingkan persentase asuransi swasta di beberapa negara, di mana
Indonesia masih relatif rendah dengan hanya 3,1 persen. Angka
tersebut lebih baik dari Kamboja (0,7 persen), Myanmar (0,1 persen), namun
masih di bawah Thailand yang mencapai 16,5 persen dan Filipina 8,6 persen.