Moneter.co.id - Tunjangan Hari Raya atau THR selalu menjadi dambaan bagi mayoritas pegawai untuk menambah bekal lebaran. Di satu sisi, THR adalah hak pekerja, meski di sisi lain, hal ini justru dianggap sebagai cost oleh perusahaan.
Oleh karena
itu, persepsian yang berbeda ini sering menjadi muasal dari konflik di dunia
industri sehingga konflik antara pekerja – buruh dengan pengusaha sering
terjadi pada akhir ramadhan. Berbagai dalih muncul dibalik penundaan dan atau
ketiadaan kemampuan untuk membayar THR. Akibatnya bisa ditebak akan muncul
konflik. Bahkan, bukan tidak mungkin mengarah ke anarki.
Selain itu,
fakta dibalik THR adalah munculnya berbagai aksi kriminal karena lebaran tidak
bisa terlepas dari tuntutan pemenuhan kebutuhan dan keinginan yang beragam.
Fakta ini menguatkan argumen tentang ancaman kriminalitas, termasuk peredaran
uang palsu selama Ramadhan – lebaran.
Jika swasta masih pusing
dengan besaran THR yang harus dibayarkan kepada pegawai, tidak dengan
pemerintah karena kemarin Presiden Jokowi telah menandatangai PP untuk
pemberian THR dan gaji ke-13.
Mengacu UU
no.5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara bahwa upah yang diterima PNS yaitu take home pay yang terdiri dari 3
komponen yaitu gaji pokok, tunjangan kinerja dan tunjangan kemahalan.
Jika dicermati
bahwa regulasi tentang gaji ke-13 mulai rutin diberikan sejak tahun 2004
sedangkan THR sejak 2016 yang pendanannya bersumber dari APBN sedangkan untuk
aparatur daerah dari APBD. Harapan dari pembayaran gaji ke-13 dan THR adalah
untuk menstimulus terhadap geliat ekonomi di daerah.
Argumen yang
mendasari karena laju pertumbuhan ekonomi saat ini masih ditopang dengan
konsumsi, sementara produksi belum maksimal. Padahal, realitas ini rentan
terhadap laju inflasi.
Besaran THR dan gaji ke-13
bagi ASN cukup fantastis dan karenanya beralasan jika ini memicu sentimen
terkait politisasi. Nominal besarannya mencapai Rp35,76 triliun atau naik
68,92% dari tahun 2017 dengan rincian THR Rp5,24 triliun, tunjangan kinerja
Rp5,79 triliun (sebagai kebijakan baru 2018), THR pensiun Rp6,85 triliun
(kebijakan baru 2018), gaji ke-13 Rp5,24 triliun, tunjangan kinerja ke-13
Rp5,79 triliun dan juga pensiun – tunjangan ke-13 Rp6,85 triliun.
Nominal itu
tentu memberikan efek positif bagi pemenuhan kebutuhan ramadhan – lebaran,
setidaknya geliat sektor riil yang dapat terbangun dari konsumsi ASN akan
meningkat.
Berbeda dengan pemerintah,
maka besaran THR dan gaji ke-13 yang bisa dibayarkan oleh swasta dipengaruhi
banyak faktor. Tentu bersyukur jika perusahaan masih mampu membayarkan THR,
sementara banyak juga perusahaan yang bersyukur masih bertahan ditengah
persaingan yang semakin ketat dan juga himpitan lemahnya daya beli akibat
tergerus inflasi.
Oleh karena
itu, beralasan jika konflik THR setiap lebaran tidak pernah sepi dan karenanya
persepsian tentang THR adalah Tidak Harus Ribut. Jadi, bagi yang mendapatkan
THR dan gaji ke-13 haruslah bersyukur dan belanjakan dengan bijak agar tidak
tekor pasca lebaran, sedangkan yang tidak mendapatkan maka lebih baik bekerja
keras semoga mendapatkan berkah Ramadhan.
Oleh: Dr. Edy Purwo
Saputro, MSi
Dosen
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo