Selasa, Oktober 7, 2025

Ekonomi Indonesia Tumbuh Makin Cepat di 2018

Must Read

Moneter.co.id – Indonesia merupakan salah satu negara dengan fundamental
ekonomi terkuat 
di kawasan
regional
. Berbagai indikator
menu
njukkan
performa prima, s
eperti rasio utang
pemerintah 
yang berada di bawah 30 persen dari PDB, salah satu yang terendah di antara
negara-negara berkembang
.

Menurut
siaran pers DBS yang diterima, Senin (11/12), pemerintahan yang stabil dan
risiko politik relatif rendah, menjadikan ekonomi Indonesia berpotensi untuk
bergerak lebih cepat dalam beberapa tahun mendatang. Faktor eksternal menjadi
penarik utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama yang berasal dari
kenaikan harga komoditas.

“Kami
memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan naik jadi 5,3 persen dan 5,4
persen pada 2018 dan 2019,” kata 
Gundy Cahyadi, Ekonom DBS Group
Research,
 dalam
laporan berjudul “Indonesia in 2018/19: Higher gear?”.

Tantangannya
adalah bagaimana pemerintah dapat mengakumulasikan berbagai indikator untuk
memacu pertumbuhan ekonomi lebih cepat. Seperti, mendorong investasi swasta
yang sejak 2013 mengalami penurunan.

Upaya
pemerintah melalui pembangunan infrastruktur tampaknya sudah menuai hasil. Ini
terlihat dari pertumbuhan investasi yang mencapai 7,1 persen pada kuartal
III-2017, tertinggi sejak kuartal I-2013. Diperkirakan investasi berkontribusi
sebesar 35 persen 
terhadap
pertumbuhan PDB 2017.

Investasi
swasta diandalkan dengan terbatasnya ruang fiskal pemerintah. Undang-undang
mengatur pembatasan defisit anggaran maksimal 3 persen dari PDB. Diperkirakan
defisit akan mencapai 2,6 persen pada 2018, lebih tinggi dari perkiraan
pemerintah sebesar 2,2 persen.

DBS Group Research
memperkirakan kenaikan defisit terutama didorong oleh potensi penurunan
penerimaan pajak, ketimbang kenaikan anggaran belanja.

Meski demikian, tren kenaikan harga minyak
mentah dunia akan meningkatkan pemasukan negara dari sektor minyak dan gas bumi
(migas). Dalam perhitungan DBS Group Research, setiap kenaikan harga minyak
sebesar 10 persen akan memberikan tambahan anggaran Rp 6,7 triliun dalam APBN.  

Tidak
seperti negara-negara lain, Indonesia adalah salah satu negara yang tidak
mengambil keuntungan dari tumbuhnya permintaan produk manufaktur global. Ekspor
Indonesia masih mengandalkan sektor komoditas, terutama batu bara yang tumbuh
49 persen, minyak sawit mentah sebesar 44 persen, dan migas sebesar 21 persen.
Sementara ekspor produk manufaktur hanya tumbuh 2,5 persen.

Pemerintah
telah berkomitmen untuk mengurangi ketergantungan terhadap produk komoditas.
Ini dilakukan dengan menerbitkan 16 paket reformasi kebijakan dalam dua tahun
terakhir. Terbukti, peringkat Indonesia dalam Ease of Doing Business yang
dirilis Bank Dunia meroket dari peringkat 106 pada 2016 menjadi 72 pada 2018.

Investasi
asing langsung ke sektor manufaktur pun mencatat rekor tertinggi sebesar US$
16,6 miliar pada 2016. Investor tidak lagi menjadikan sektor pertambangan
sebagai tujuan investasinya, melainkan sektor permesinan dan elektronik.  

Dari
sisi inflasi, tekanannya diperkirakan cenderung stabil terutama yang disebabkan
harga bahan makanan. Ini seiring upaya pemerintah memperbaiki jalur distribusi,
sehingga disparitas harga antardaerah berkurang.

Adapun
risiko inflasi terbesar berasal dari kenaikan harga minyak mentah, terutama di
sektor transportasi dan listrik yang menyumbang sekitar 25 persen terhadap
Indeks Harga Konsumen. DBS Group Research memprediksi inflasi Indeks Harga
Konsumen (IHK) akan mencapai 4.0% dan 4.5% di tahun 2018 dan 2019.

Berbagai
indikator ini diharapkan dapat mendorong konsumsi rumah tangga. Persoalannya,
 membaiknya sektor komoditas yang terjadi beberapa waktu terakhir tidak berdampak langsung terhadap pendapatan
masyarakat. 
Kemampuan
beli, terutama di masyarakat kelompok bawah masih rendah.

Seperti
terlihat dari k
onsumsi barang non-pokok atau discretionary goods masyarakat yang turun
menjadi 4,5 persen, jauh di bawah kondisi tiga tahun lalu sebesar 6 persen.
“Pertumbuhan 
ekonomi Indonesia akan lebih tinggi jika pertumbuhan
konsumsi 
discretionary goods  masyarakat lebih tinggi,” 
kata Gundy
Cahyadi.

Lebih
lanjut, DBS Group Research memprediksi Bank Indonesia akan mulai menaikkan suku
bunga di kuartal IV tahun 2018, membawa tingkat suku bunga kembali menjadi 5%
di pertengahan tahun 2019, mengingat antisipasi dari penguatan mata uang USD
yang akan membutuhkan suku bunga domestik yang lebih tinggi. (TOP)

 

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Latest News

UmrahCash dan VIDA Hadirkan Solusi Aman & Praktis

UmrahCash berkolaborasi dengan VIDA, penyedia identitas digital terkemuka di Indonesia, menghadirkan dompet digital syariah yang aman dan praktis khusus...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img