Moneter.co.id – Institute for Development of Economics and Finance atau INDEF meminta agar belanja subsidi di RAPBN 2018 diawasi. Pasalnya, tahun 2018 adalah tahun politik dan juga menjelang Pilpres 2019.
Peneliti Indef Bhima Yudhistira mengatakan, ada pergeseran bantuan agar lebih tepat sasaran, dari sekadar Bantuan Langsung Tunai (BLT) menjadi bantuan yang sifatnya non-tunai.
Meski permasalahan dalam hal penyaluran bantuan non-tunai tetap ada, terutama saat masa transisi di 2018 mendatang. Sehingga menimbulkan celah penyimpangan bantuan sosial. Misalnya soal infrastruktur bantuan non-tunai masih belum dipersiapkan secara matang.
“Masa transisi bantuan yang sifatnya non-tunai pun tidak bisa tergesa-gesa. Kalau menukar rastra (beras sejahtera) menggunakan voucher pangan harus di e-warong, kasihan penduduk miskin, karena akses menuju e-warong tidak merata,” ujarnya, Jumat (18/8).
Sementara di daerah, lanjut Bhima, dengan penduduk miskin yang lebih banyak, jangankan bicara jaringan telepon dan internet, listrik pun banyak yang belum tersentuh. Ada biaya tambahan yang mungkin muncul dan dibebankan ke penerima bantuan non-tunai. Sehingga hal itu yang mesti dipikirkan kembali.
Selain infrastruktur, masalah integrasi data bantuan non-tunai juga harus secepatnya rampung. Perbaikan single database (BDT) sudah sangat mendesak.
“Bukan hanya subsidi energi, berdasarkan Laporan Nota Keuangan RAPBN 2018, pemerintah juga meningkatkan jumlah penerima PKH (Program Keluarga Harapan) atau conditional cash transfer dari 6 juta menjadi 10 juta penerima,” ujarnya.
Menurutnya, untuk tahun depan, penerima bantuan pangan nontunai juga meningkat menjadi 10 juta penerima dari 1,4 juta penerima di tahun 2017. “Berbagai studi menunjukkan bahwa kebijakan menaikkan anggaran belanja sosial dan subsidi sudah jadi tabiat para politikus istana menjelang pemilu,” kata Bhima.
Ia mencontohkan, di era SBY menjelang pemilu tahun 2009 melakukan hal yang sama. Anggaran bantuan sosial di APBN 2008 naik 21,4% dibandingkan anggaran tahun sebelumnya. “Strategi BLT terbukti ampuh menaikkan jumlah pemilih (voter) terutama yang berasal dari kelompok miskin,” lanjutnya.
Terkait hal itu, Bhima melanjutkan, pihaknya menyarankan DPR terutama Komisi XI yang sedang membahas RAPBN 2018 untuk mengkritisi jumlah subsidi energi yang disodorkan pemerintah.
Menurutnya, DPR dan masyarakat juga perlu mengawasi proses transisi bantuan subsidi non-tunai yang melibatkan 10 juta keluarga penerima PKH. “Jangan sampai anggaran yang disumbang oleh uang pajak menjadi bancakan oknum yang tidak bertanggung jawab demi kepentingan politik jangka pendek,” tegas Bhima. (Sam)