Selasa, September 30, 2025

Ini Pesantren Penggerak ‘Amar Ma’ruf Nahi Munkar’ di Jawa Barat

Must Read

Moneter.id – Bila
Front Pembela Islam (FPI) itu makhluk bernyawa, Pesantren Alam dan Agrokultural
Markaz Syariah barangkali adalah wajah lembut organisasi penggerak ‘
amar ma’ruf nahi munkar’ tersebut.
Selain aktivitas Laskar Pembela Islam (LPI)-nya yang selalu hadir membantu
korban bencana di seantero negeri, Pesantren Markaz menjadi salah satu tangan
FPI menebarkan rahmat Islam langsung ke masyarakat.

Pesantren
Markaz Syariah didirikan sekitar delapan tahun lalu oleh Habib Rizieq.  Awalnya, Habib Rizieq benar-benar terkejut
dengan kuatnya pandangan anti-islam (Islamophobia) yang tak hanya melanda
kalangan non Muslim, tapi bahkan umat Islam sendiri. Mereka, dalam pandangan
Habib Rizieq, bahkan takut untuk menegaskan sikap sebagai Muslim yang kaffah.

“Pesantren
ini dibangun sebagai benteng akidah ahlussunnah
wal jamaah
dan bercita-cita menghidupkan Islam yang benar-benar rahmat bagi
alam,” kata Habib Thahir Bin Hamid Alhamid, kakak kandung Habib Rizieq,
Jumat (12/04/2019).


Tamu
pesantren harus rela menempuh perjalanan berliku, merayapi jalanan lereng bukit
curam di lereng Gunung Gede bila hendak datang berkunjung. Dengan menembus
jalanan berlumpur selebar kurang lebih tiga meter sekitar tiga kilometer
jauhnya dari kampung terdekat, Kampung Lemah Neundeut di Kelurahan Sukagalih,
Mega Mendung, Kabupaten Bogor, kendaraan terbaik untuk datang ke Markaz Syariah
sebenarnya adalah mobil siap offroad alias four wheel drive (4WD).

Pengunjung
harus melewati tiga pos pemeriksaan sebelum bisa memasuki area pesantren. Pos
pemeriksaan pertama berada di Kampung Lemah Neundeut, tepat di mulut sebuah
kelok di pertigaan jalan. Jalan yang kentara baru, mungkin dibuat khusus untuk
menuju kawasan pesantren. Pos kedua sekitar 500 meter sebelum pesantren. Pos
terakhir sekaligus menjadi gerbang pesantren.

“Kami
perlu bikin pos-pos pemeriksan karena selama ini banyak yang datang hanya untuk
menulis dan menjelek-jelekkan kami,” kata Iye Aljufri, salah seorang pimpinan
FPI Bogor.

Menurut
Iye, dirinya tak habis pikir mengapa keadaan keseharian di pesantren tak
membuat para wartawan tertentu yang menyaksikan itu tergerak untuk menulis
dengan jujur.

Setelah
jalanan yang agak mendaki, para tamu akan segera menjumpai beberapa kumpulan
bangunan. Salah satunya sebuah masjid berdinding kayu yang bertengger di area
lereng yang sudah didatarkan. Dari kejauhan pun masjid dengan ukuran panjang
sekitar 40 meter dan lebar 15 meter itu terlihat sebagai masjid yang
berarsitektur terbuka.

Kalau
pun ada dinding, dinding itu sebenarnya adalah rak-rak penuh berisikan
buku-buku tebal, tepatnya kitab karena kebanyakan bertuliskan aksara dan
berbahasa Arab. Beberapa dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, terutama pada
buku-buku jenis kamus dan ensiklopedi. Jumlahnya puluhan ribu, berderet di
keempat dinding memanjang melebar, termasuk dinding-dinding penyekat di dalam
area masjid.

Dengan
kemampuan membaca Arab terbatas, tampak buku-buku masyhur dari para pemikir Islam,
seperti Tahafut Al Falasifah tulisan Imam Al Ghazali dan
kitab Al Umm karangan Imam Syafii berada di salah satu rak.

“Belum
semua buku Habib Rizieq kami bawa ke sini. Masih sekitar segini di Petamburan (markas
FPI di Jakarta),” kata Habib Muhammad bin Hussein Al Attas, penanggung jawab
pesantren dan menantu Habib Rizieq.

Untuk
tamu yang datang dengan niat bersih, pemandangan itu saja sudah akan membuat
mereka mempertanyakan stigma FPI sebagai organisasi ‘garang’. Itu terjadi pada
tokoh wanita kharismatik, Mbak Tutut Soeharto, yang pekan ini datang
berkunjung.

“Ternyata
FPI ini luar biasa, tidak brutal sebagaimana dipikirkan sebagian orang,” kata
Mbak Tutut saat pertama kedatangannya ke Markaz Syariah.

Tak banyak
santri yang menimba ilmu di sini, karena pesantren pun belum membuka luas
penerimaan santri. “Baru menerima santri yang datang dari cabang-cabang FPI
dari seluruh daerah,” kata Abah Rashid, salah seorang kepercayaan Imam Besar
FPI Habib Rizieq Shihab yang saat ini tengah ‘hijrah’ di Arab
Saudi.  Jumlahnya baru sekitar 100-an santri.

Namun
semua itu tak harus membuat Markaz sepi dari persentuhan sosial dengan
masyarakat sekitar. Setiap Jumat pesantren menggelar pengajian keagamaan, yang
diakhiri makan siang gratis untuk seluruh jamaah. Waktunya mulai pukul 08 pagi,
diselang shalat Jumat. Berlanjut hingga matahari mulai turun dari puncak
posisinya, sebelum waktu Ashar.   

Rabu
pekan pertama setiap bulan selalu membuat pesantren yang memiliki luas area 70-an
hektare itu laiknya punya hajatan. Juga setiap hari Sabtu. Rabu awal bulan
menjadi waktu acara pengajian bulanan yang melibatkan banyak ulama dan habib
dari berbagai kabupaten di Jawa Barat.

Umumnya
mereka datang sejak dini hari, dari berbagai daerah di sekitar Jabodetabek,
bahkan Cianjur dan Sukabumi serta Lampung.

Sementara
setiap Sabtu pesantren membuka diri untuk warga sekitar berpiknik di area
pesantren dan makan siang gratis bersama anak-anak dan keluarga mereka. “Itu
amanat dari HRS yang terus kita jaga. Makanya, tuh ada perosotan, ayunan dan
alat-alat permainan anak-anak di sini,” kata Abah Rashid.    

Di kedua
momen itu, menurut Abdullah, salah seorang pengurus pesantren, area pesantren
pun jadi berubah laiknya ‘pasar kaget’. “Banyak orang berjualan. Mulai jualan
makanan, minuman, pakaian muslim-muslimah, atribut FPI, hingga poster para
habib,” kata Abdullah.

Menurut
dia, pada saat-saat awal, yang datang hanya beberapa mobil. “Sekarang, lapangan
parkir itu penuh,” kata dia, menunjuk sebuah dataran lapang yang bisa memuat
parkir sekitar 100-an kendaraan roda empat.

Menurut
Wakil Ketua Umum Pesantren Markaz Syariah, Syeikh Farid Bin Thalib, awalnya
Habib Rizieq hanya berencana membangun pesantren seluas 2-3 ha. “Tapi semangat
dan dukungan masyarakat begitu antusias, sehingga kini area pesantren mencapai
70-an hektare,” kata dia.

Di
puncak dataran lain tampak kandang sapi dan kuda, serta areal yang ditanami
sayur-mayur dan perkebunan alpukat jenis green gold, jambu kristal dan
cengkeh.

Habib
Musthofa Muladawilah, pengusaha ekspor buah ke Eropa dan Timur Tengah, mengatakan
alpukat yang dibudidayakan santri Markaz Syariah itu berkualitas premium.
“Harganya mahal. Bisa mencapai empat dolar AS per buah,” kata dia. Dia
berharap  semua aktivitas itu akan membuat pesantren kian mandiri.

Sayangnya,
kandang sapi berkapasitas hingga 100 ekor itu kini dibiarkan menganggur.
Pasalnya, sapi perah yang selama ini dibudidayakan sudah uzur dan tidak
produktif. “Satu persatu kami sembelih sebagai binatang kurban,” kata Habib
Muhammad. 

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Latest News

Freeport-McMoRan Setuju Lepas 12 Persen Saham ke Indonesia ‘free of charge’

Perusahaan tambang internasional asal  Amerika Serikat, Freeport McMoran setuju melepas 12 persen sahamnya ke Indonesia tanpa dipungut biaya. “Mereka sudah...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img